Metafora Tiwi

535 46 6
                                    

Cerpen ini adalah cerpen duet saya dengan Billa dari grup CircleWriters di LINE. Awalnya saya sedang menjadi silent reader di grup itu, yang seingat saya, waktu itu, sedang membahas bahwa grup sedang sepi atau semacamnya. Lalu, saya berinisiatif untuk membuat ramai dengan main cerita bersambung. Jadi, saya menulis kalimat pembuka cerpen ini, yaitu: "Pada suatu masa di Kota Jakarta, hiduplah seorang cewek bernama Tiwi. Dia punya cita-cita ingin jadi penulis. Dan memiliki sebuah karya yang mengesakan."

Saya pun menunggu.

Dari 60-an orang yang ada di grup itu, Billa merespon dengan baik ajakan untuk menulis bareng ini, dia menambahkan satu kalimat: "Tetapi takdir berkata lain." Lalu saya menambah satu kalimat lagi, setelah itu Billa lagi. Begitu terus sampai cerpen ini selesai. Memang pada akhirnya, kami tidak hanya saling menambahkan satu kalimat, karena lama-lama—entah karena kami terlalu bersemangat, sekali mendapat giliran, saya dan Billa bisa menulis satu sampai dua paragraf. Dan kami pun menyelesaikan cerpen ini hanya dalam waktu beberapa jam. Dari siang hingga sore.

Bagi saya, rasanya menyenangkan sekali bisa menulis secara duet seperti ini. Dan saya berharap, semoga kamu juga bisa menikmati cerita ini. Selamat membaca!






Pada suatu masa di Kota Jakarta, hiduplah seorang cewek bernama Tiwi. Dia punya cita-cita ingin jadi penulis, dan memiliki sebuah karya yang mengesankan.

Tetapi takdir berkata lain.

Orangtuanya—terutama ayahnya, tidak menyetujui cita-citanya itu, dan lebih suka agar Tiwi fokus dulu belajar. Rencananya, setelah lulus sekolah nanti, Tiwi akan dikuliahkan oleh ayahnya, dia diwajibkan belajar dengan baik, supaya cepat tamat, dan bisa langsung lulus tes PNS.

Demi membuat kedua orangtuanya bahagia, Tiwi pun mengesampingkan hobinya. Dia menjadi pribadi yang sangat berbeda, namun ketika tak ada yang melihat, dia tetap berkarya. Menyimpan semua hasil tulisannya dalam sebuah buku yang tidak diketahui oleh siapapun.

Demikianlah Tiwi terus menjalani hidupnya, belajar dengan baik, dan di waktu-waktunya yang santai, dia terus menulis dan menulis. Tiwi ingin membuat sebuah novel. Sebuah karya yang kelak bisa menyentuh banyak hati.

Tiwi terus menulis, hingga suatu hari, tiba-tiba ayahnya mengalami sakit keras yang membuatnya didera rasa bersalah karena telah membohongi beliau. Tiwi pun berkata jujur, tentang apa yang selama ini ia lakukan di belakang ayahnya.

Di tengah batuk-batuk yang tiada henti, ayahnya memaksa Tiwi untuk berjanji. "Nak, janji sama ayah, kamu jangan nulis lagi. Kamu janji harus fokus belajar biar bisa jadi PNS."

"I-Iya, Ayah." Sahut Tiwi getir. Dia menangis di dalam hati.

Ayahnya mengangguk lemah. "Ayah bangga dan sayang padamu, Nak. Ayah ingin kamu bahagia."

Mendengar ucapan ayahnya, rasanya Tiwi ingin menjerit bahwa dia tidak mungkin bisa merasa bahagia tanpa menulis. Namun, Tiwi hanya mengangguk, menelan bulat-bulat segala kekecewaan. Biarlah mimpinya terkubur, yang penting ayahnya sembuh dan sehat seperti sedia kala.

Malam itu juga, Tiwi memasukkan semua tulisannya ke dalam sebuah peti, termasuk naskah novel yang sedang ia kerjakan. Lalu peti itu digembok, dan kuncinya dia buang ke selokan depan rumah. Selamanya, Tiwi tidak akan menulis lagi, sesuai janjinya pada sang ayah.

Semenjak itu, hidup Tiwi kelam dan suram. Ia memang berhasil lolos SMPTN, berhasil membuat kedua orangtuanya bangga. Prestasi demi prestasi ia torehkan, namun jiwa Tiwi seakan hampa dan tanpa makna. Ia merasa terkekang dan letih, hingga suatu saat ia melihat poster lomba mengarang tingkat nasional yang ditempel di mading kampusnya.

Diam dan Cium Aku Sekarang!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang