Helai Pertama: Aku Ingin Minta Maaf

36.8K 1.5K 182
                                    

Ketika kisah dikatakan sebuah kisah, kemanakah cinta berlabuh? Di antara makhluk yang masih diragukan kebenarannya karena berada di tingkat supranatural, apakah kompen cinta tetap akan menyeruak nasib? Cinta, sebuah materi kasat mata tanpa jeda yang akan selalu ada. Meski sakit yang jadi pelengkapnya. Meski obatnya tetaplah cinta itu sendiri. Di sana, ada sebuah birahi yang menyongsong luka. Menganga tertutupi jelanga.

Saat ini, cinta menyeruak gelap. Mendekap hakikat di antara makhluk-makhluk fiksi. Melangkah tegap meski tergagap, lalu menjerit cakap. Merengkuh dua jakun beda mimpi dan misi.

Ini hanya selembar kisah di antara sekerat cerita.

***

#Ark

Pertama-tama aku ingin minta maaf.

Aku ingin minta maaf atas segala dosa yang pernah kuperbuat, yang mungkin tak kusadari sebelumnya. Aku dan tempelan bulu ini harus menyadari sesuatu ketika aku hidup. Aku ingin hidup selayaknya manusia biasa, meski aku tak mampu. Dalam jiwa seorang Arkano Vadianova, hidup sosok lain yang menemaninya. Sosok itu bukan selayaknya manusia atau arwah yang menghakimi perbuatanku. Bukan selayaknya bisikan yang mengomentari ucapanku. Sama sekali bukan. Sosok itu hadir sebagai pagi, siang, dan malam milikku. Dia hadir dengan garis khatulistiwanya sendiri, dengan julukan serigala. Wolf. Inner wolf. Apapun kalian menyebutnya.

Aku mungkin terlalu melankolis untuk menampung sosok itu. Dia dominan, dan dia akan jadi seorang Alpha nanti. Pemimpin dari sebuah pack, yang mengharuskannya dituruti oleh seluruh kawanan.

Namun nyatanya hatiku kurang bisa melagu dan meramu kebijaksanaan dalam setiap ucapan dominannya. Aku belum mampu berdiri dengan berani, menantang siapapun yang mengancam kawananku. Tidak, aku tak akan pernah melakukannya!

Aku lebih senang menatap rumput yang terbisiki angin, lebih bahagia melihat sekawanan kupu-kupu yang melintasi padang bunga, lebih damai saat mendengar gemericik air sungai, dan juga... lebih bahagia menjadi apa yang mereka sebut penyendiri dan melankolis. Nyatanya, aku tak akan pernah mengotori tanganku dengan sebuah gelar dan jabatan. Apapun takdir yang menyeretku. Aku sudah puas berbangga hati dengan dunia kecilku, dengan setumpuk novel melankolis nan dramatis, dengan lembaran puisi yang kutulis saat gerimis mulai mengikisi jendela kamarku.

"Ark! Makan!" Ibuku berteriak dari lantai bawah, memerintahkanku segera turun. Ucapan ibuku mutlak, bahkan aku belum pernah membantahnya. Dia adalah Luna kawanan, yang akan selalu jadi panutan. Ibuku ibarat ratu di sini, meski aku tak ingin ibuku menjadi sehebat itu. Aku hanya sanggup bermimpi untuk hidup sebagai seorang manusia, tinggal bersama orangtua sederhana dan mungkin dua orang adik.

Itu hanya mimpi, maafkan aku!

Karena itulah aku cukup berpuas hati untuk menjadi apa yang kupunya sekarang. Seorang melankolis penyendiri yang hampir menginjak usia delapan belas tahun. Usia paling sakral dan vital bagi seorang penampung serigala. Kami bisa memindai keberadaan mate kami. Belahan jiwa kami pada usia itu. Seharusnya, mungkin seharusnya aku tidak harus tahu.

Aku turun dari ranjangku dan mulai melangkah ke meja makan. Ibuku melotot, menatap apa yang kukenakan dari atas ke bawah. Aku cukup sadar diri tentang itu. Aku belum mandi dan ganti baju. Aku semalam begadang dan membaca novel favoritku, menyelami apa yang orang sebut dengan sastra. Aku sedang terjun ke dunia baruku. Tentu saja. Aku lebih senang menantang norma dan logika dengan hal yang mereka sebut seni, dimana hal yang tabu tak perlu jadi hujatan. Atau mungkin aku terlalu puitis dan sensitif...

"Belum mandi?" Kali ini ayahku yang mulai menyuarakan pemikiran ibuku. Aku tersenyum miris, lantas menjatuhkan pantatku di kursi makan. Ibu masih melengos dengan wajah malas.

Alpha's BitchieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang