Ch. 1 [ADAM'S POV]

13.3K 931 36
                                    

Angka keramat itu menyapa gue, lagi.

Dia berwarna semerah darah, dan entah siapa yang membuatnya basah, air membuat tinta spidolnya luntur hingga sekarang dia tampak lebih mengerikan.

Not that I'd share my concern, tho.

Masalahnya adalah gimana gue bisa lulus dengan predikat kehormatan, kalau nilai mapel wajib aja jeblok begini. Seriously, masalah dengan Kimia emang nggak main-main. Frankly speaking, kalau Kimia itu orang dan dia ada di ujung jurang lagi butuh bantuan, gue lebih baik nonton dia kesiksa sampai mati ketimbang datang buat nolong.

Sebesar itu rasa suka gue padanya.

"Dam, c'mon~! Gue tahu lo bisa lebih baik dari 13~"

Dan ini dia datang, si saudara Kimia yang menyebalkan.

"Diam, Kei, kalo lu nggak pengen pulang babak belur lagi," balas gue datar, namun cukup membuat anak-anak yang menguping pembicaraan kami terkikik seketika.

Wajah orang di hadapan gue memerah, tapi dia mendecak.

"Yaaah, at least gue nggak akan bonyok gara-gara terancam nggak lulus lagi," balasnya telak.

Mendadak sekelas hening. Gue termangu.

Biasanya sih, kalau Kei sudah menyinggung-nyinggung soal prestasi dan ayah, gue bakal meraung dan nerkam dia, sampai nanti kami berakhir di ruang guru atau UKS saking parahnya berantem.

Tapi enggak kali ini. Kemarin ayah emang udah ngancem untuk kesekian kalinya, kalau lebih baik gue putus sekolah jika sekali lagi gagal lulus atau bikin onar. Hmm. Dan jadi kuli angkut di pasar atau pekerja serabutan nggak kedengaran asyik.

Mengambil nafas, gue bangkit perlahan dan melirik ke arah Kei. Anak itu masih dengan senyum menyebalkan, tapi sudah pucat pasi dan berkeringat dingin. Di rahang bawahnya masih tersisa memar bekas pergumulan terakhir kami. Gue menghela nafas ketika dia refleks memejamkan mata dan meringis saat gue dekati.

Tapi gue ngelewatinya gitu aja.

Mungkin Pak Khoirul, guru agama kami, benar. Nggak semua masalah bisa selesai dengan kekerasan. Kalau teori itu benar, perang dunia nggak akan selesai dari dulu sampai sekarang. Dan bangsa Yahudi paling sudah musnah. Dan mungkin Indonesia masih dijajah. Dan bisa jadi, sebenernya gue nggak perlu ada.

'Ini mulai menjengkelkan,' gue melirik langit-langit koridor yang sekejap kemudian berubah menjadi biru tanpa batas dengan kelabu berarak. Dengan langkah terseret gue menuju taman belakang. Tempat itu selalu sepi, teduh, dan jauh dari para idiot seperti Kei.

Tahu apa dia soal nilai?

Oke, gue akui walau meskipun gue lebih kuat, tapi otak Kei jauh lebih encer. Hell, mungkin dalam satu angkatan, otak dia yang paling encer. Gue menggerutu. Karena hal itu juga dia sering ngejek gue yang berada di urutan terbawah di kelas. Nyebelin.

"Adam!"

Gue berhenti melangkah dan menoleh, melihat Wulan berlari terengah-engah. Anak cewek itu membenarkan kacamatanya, mengambil nafas, dan akhirnya angkat suara―

"Dipanggil Pak Han di ruang guru."

Gue mengerang. "Gua kan nggak bikin muka Kei memar," gerutu gue.

"Katanya ini soal nilai sekolah," Wulan mengangkat bahu. "Terserah sih. Aku ke kantin dulu."

Gue menghela nafas lagi, kemudian dengan malas berjalan gontai ke arah ruang guru. Mau apa lagi guru BK itu. Nggak bosen apa manggil-manggil siswa terus ke kantornya. Mending kalau diajak ngopi, lah, kalau buat dengerin ceramah? Ogah kuadrat.

"Permisi," ujar gue seraya membuka pintu, melongokkan kepala. "Pak Han?"

Yang dipanggil mengangkat muka, lalu memberi isyarat masuk. "Duduk, Dam."

Gue menutup pintu dengan kaki dan melangkah mendekat. Baru sadar juga ada anak lain―tunggu.

"Ngapain lu disini juga, ciprik?" gue takjub melihat Kei duduk dengan muka ditekuk.

"Diem njing."

"Adam, duduk. Dan kalau kalian nggak mau kena masalah lebih jauh, berhenti mengumpat," suara tegas Pak Han menggaung di ruangan kecil itu. Gue memutar bola mata, menarik kursi menjauh dari tempat Kei.

"Adam," Pak Han melepas kacamatanya dan menatap gue antara tajam dan kasihan. "Nilai kamu merosot jauh semester ini."

Kei ngikik, bikin gue menendang kursinya refleks. Dia menjulurkan lidah.

"Maaf Pak," dumal gue.

"Nggak cukup maaf, Adam. Bapak nggak ingin kamu tinggal kelas tahun ini."

"Ya kalo gitu bilangin Pak Kus biar nggak usah ngadain ujian," gue memutus. Pak Kus itu Kepsek disini, atasan Pak Han. Yaiyalah.

"Hus, jangan ngaco kamu," gerutu Pak Han. "Makanya bapak minta bantuan Kei."

"HAH?!" belum sempat kepala gue memproses info barusan, teriakan kaget Kei udah membahana. "KOK GITU SIH PAK?!"

"Eh, nyet, nggak bisa pelan dikit?!" gue menendang tulang keringnya kali ini, dan dia kembali duduk sambil mengumpat pelan. Tapi tetap dia menatap benci Pak Han yang tampaknya kalem-kalem saja.

"Kei, ini juga sebagai nilai afektif kamu. Bapak nggak mau kamu egois."

"Ya kan bukan salah saya Pak kalo IQ Adam jongkok," dengus Kei.

"Tai lu."

"Emang bener," dia menghindar kali ini dari jangkauan kaki gue.

"Sudah, kalian," Pak Han berdiri, dan karena posisi beliau menghalangi sinar lampu, ekspresi wajahnya jadi serem gitu. Gue bisa merasakan Kei mengerut di kursinya, sementara gue hanya menelan ludah gugup.

"Adam, kamu harus belajar lebih keras selama sebulan ini sebelum UKK dimulai. Dan kamu Kei, akan jadi tutornya Adam. Nggak ada kata tidak atau tapi. Kalian nggak suka, maka kalian berdua batal naik ke kelas 12," Pak Han menyatakan keputusan final. "Belajar di ruang kelas kalian, atau di rumah, setiap dua jam. Bapak akan menghubungi orangtua kalian untuk memantau nanti."

"Cih," Kei mendecak, memalingkan mukanya ke tembok.

Gue menghela nafas lagi. Kalau ayah tahu...

"Sekarang kalian boleh keluar."

Gue hanya bisa mengangguk.

Mau gimana lagi?

Chemistry [in ed.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang