01. He Changed

265 32 26
                                    

Tadinya, kengerian tentang hari ini sudah terbayang dengan baik bahkan sebelum ia benar-benar menjejakkan kaki di tempat itu; sebuah neraka dunia bernama "Sekolah"; tampaknya semua orang bisa menebaknya dengan mudah, bukan? Connor tidak akan menyangkal bahwa ia membenci satu-satunya tempat dimana ia mendapat pendidikan formalnya.

Tapi setelah Connor benar-benar berada di sekolah, barulah dia terkejut. Situasinya ternyata berbeda. Namun bukan berarti dia tidak tahu kenapa—dia hanya merasa menjadi 'si otak lambat', sebab harusnya dia sudah tahu sejak pertama kali mendengar berita itu.

Koridor sekolah tetap ramai. Namun bukan ramai yang riuh. Bukan ramai dimana anak-anak gadis bergosip heboh atau tertawa keras-keras bersama geng-geng mereka. Bukan juga ramai karena terjadi perkelahian singkat antara sang tukang bully dan korban favoritnya. Untuk hal yang kedua, Connor menerimanya dengan senang hati. Semua orang tahu pasalnya Connor Franta adalah si stereotipe kutu buku yang di jam makan siang akan mengobrol dengan orang yang itu-itu saja. Selebihnya Connor akan menghabiskan waktunya di perpustakaan. Selebihnya dia berurusan dengan tukang bully dalam perjalanan pulang dari sekolah. Dengan empat ciri khasnya yakni sweater kebesaran, kacamata besar, tingkahnya yang kikuk serta cara jalannya yang selalu menundukkan kepala, dia adalah tipe-korban-ideal dimata para tukang bully.

Pagi ini Connor berjalan menuju kelas dengan memeluk sejumlah buku didepan dadanya erat-erat seolah mereka adalah emas berlian. Sepasang mata hijaunya tersembunyi dibalik lensa kacamata minus tebal, seperti biasanya, dan terkunci pada pergerakan sepatunya mengambil tiap-tiap langkah. Sebenarnya tak ada seorangpun yang peduli saat Connor lewat. Tidak seorangpun. Hanya saja Connor senantiasa merasa yang sebaliknya—paling tidak, dia merasa begitu didalam kepalanya.

Dia takut seseorang akan menemukannya. Dia takut seseorang akan melihatnya, menegurnya, mendekatinya. Dia tidak ingin seseorang melihatnya, terutama melihat ke dalam matanya dan akhirnya membacanya; membaca dirinya. Dia takut. Cengkramannya pada buku-bukunya mengerat, deru napasnya pun ikut bertambah berat. Dia takut, dia takut, dia ta—

"What the fuck?!"

Connor berhenti berpikir saat tubuhnya menabrak seseorang. Dia tidak jatuh—hampir, tapi kaki-kakinya ternyata masih bisa seimbang berdiri tegak. Orang yang ditabrak itu juga tidak jatuh, namun itu karena jari-jari tangannya cepat menangkap pegangan pintu loker disampingnya. Dia memiliki gerak-gerik aneh, sempoyongan selayaknya orang mabuk sementara bibirnya terus mengeluarkan umpatan gara-gara kecelakaan kecil tadi. Dia berdiri didepan Connor dengan tangan masih mencengkram pegangan pintu loker, kepalanya tertunduk dan disangga dibagian dahi oleh tangannya yang bebas. Alhasil Connor tidak bisa melihat wajahnya. Lelaki itu memiliki rambut cokelat ikal, tubuhnya kurus, kulit tangannya putih seputih susu, dan dia mengenakan setelan serba jeans.

"M-ma-ma-maaf..." ucap Connor terbata-bata. Tapi lelaki itu tidak menjawab. Bergerak saja pun tidak. Connor memandanginya takut-takut... dan penasaran sebab ia belum pernah melihat lelaki itu sebelumnya di kelas manapun. Tapi dia berjalan di koridor yang sama dengannya, jadi mereka pasti satu angkatan.

Sejurus berikutnya yang mengejutkan Connor, lelaki yang ia tabrak tadi ternyata sedang menangis. Dan sebagai refleksnya karena kaget, Connor melupakan buku-buku yang ia peluk—dia melepaskan pelukannya sendiri, membuat semua buku pelajaran hari itu berserakan di lantai. Connor menghampiri si lelaki berambut ikal, baru hendak menyentuh pundaknya saat si pemilik pundak beringsut menjauh.

"Jangan sentuh aku!" perintahnya. Jadi dia bisa memerhatikan Connor?

"M-maaf..." gumam Connor pelan, kembali menunduk. Ternyata dia salah kira. Dia sudah pernah melihat sepasang mata biru besar yang sekarang tengah menatapnya sebelum saat ini.

The Things He Never SaidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang