Aku berdiri di belakang bar, melirik jam tanganku sekali lagi. Bukan, aku bukan menghitung waktu pulangku yang masih beberapa jam lagi. Bukan juga aku menunggu waktu istirahatku, karena waktunya sudah lewat sejam lalu.Aku menunggu seseorang.
Ia selalu datang tepat waktu, setiap hari sabtu, pukul delapan malam. Hanya dua jam sebelum kedai kopi ini tutup. Kedatangannya selalu membuatku berdebar. Bukan, bukan karena ketampanannya atau apa (meskipun Ia tak bisa dibilang biasa saja), tetapi karena memikirkan siapa yang akan Ia bawa malam ini.
Tiga minggu lalu, Ia kemari bersama seorang perempuan tinggi dengan berat badan yang sudah bisa kupastikan kurang dari 50kg. menurut teman-temanku yang juga penjaga kedai kopi ini, perempuan itu adalah model terkenal. Yep. Aku memang tak tahu hal seperti itu dan tak punya ketertarikan pada bidang permodelan, makanya aku mengangguk-angguk saja saat temanku membeberkan biodata lengkap si model itu. Tetapi minggu lalu, Ia hanya datang sendiri, entah kemana si perempuan supermodel itu.
Empat minggu yang lalu, Ia datang bersama seorang perempuan yang berbeda. Seorang perempuan mungil dengan rambut bob dan poni yang super stylish. Kalau nggak salah, dia salah satu fashion blogger terkenal se-Bandung, atau se-Indonesia? Ah, aku sama tak pedulinya dengan dunia blogging.
Beberapa minggu sebelumnya, Ia membawa seorang perempuan tomboi dengan rambut super pendek dan gaya yang kecowok-cowokan. Tapi tetap saja, cantik.
Nggak tau deh, udah berapa perempuan yang sudah Ia ajak kesini dari beberapa bulan yang lalu, sejak aku mulai bekerja paruh waktu disini, untuk mengisi waktu luang sambil menunggu masuk universitas.
Yang pasti, tak pernah ada yang sampai dua kali Ia bawa kemari.
Seminggu bersama perempuan, minggu berikutnya Ia akan datang sendiri dengan laptopnya. Sibuk dengan headphone dan mouse-nya.
Artinya, minggu ini seharusnya jadwalnya datang bersama perempuan, entah yang mana lagi dan sesempurna apa lagi.
Dan aku tak bisa berhenti berpikir tentangnya. . .
"Ara!" Gea menyikutku, lalu menunjuk deretan minuman yang harus kubuat.
Sial, aku terlalu asyik melamun.
Buru-buru aku meraih gelas-gelas plastik itu dan melihat kode minuman yang harus kubuat. Dua green tea latte ukuran venti, satu americano panas, satu vanilla cream Frappuccino. Ya ampun, sudah berapa lama sih aku melamun?
Buru-buru kukerjakan minuman-minuman itu, berusaha mencurahkan konsentrasiku penuh. Setelah semuanya selesai, kulihat Gea memberiku kode agar menggantikannya di depan mesin kasir karena Ia kebelet. Aku pun berlari kecil ke arah meja kasir sambil membersihkan tanganku dengan mengelapnya ke apron hijauku. Tetapi, aku langsung terpaku ketika melihat siapa yang harus kulayani.
"Hallo, selamat malam." Ucapku akhirnya dengan senyum, setelah sebelumnya menarik nafas super dalam, hampir terasa seperti tak ada lagi udara di dalam tubuhku. "Mau pesen apa, mas Raza?"
Kulihat pupilnya membesar mendengarku menyebutkan namanya.
Hah, tentu saja aku tahu namanya, aku hapal namanya, selain karena aku selalu memperhatikannya, kan, memang jadi tugasku untuk memperhatikan setiap customer regular yang sudah sering datang kemari. Maka aku tak malu-malu lagi menyebut namanya begitu menemukannya berdiri di depan cash register.
"Nggg, caramel macchiato, mbak Ara." Sahutnya sambil tersenyum, membuatku balik menatapnya dengan terkejut.
Bagaimana bisa dia tahu namaku?

KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee for Two
RomanceSebuah cerita kecil tentang Ara dan Raza. Not to spoil anything, but this story is guaranteed to have a happy ending :)