CHAPTER III

38 1 1
                                    




                 

Hari ketiga semenjak pertemuanku dengan Raza.

Sampai saat ini, aku belum berani untuk menghubungi salah satupun nomor yang tertera di kartu namanya.

Raza Sadajiwa Pratama, nama yang tertera di kartu nama bernuansa hitam tersebut. Kartu namanya menyebutkan bahwa ia bekerja di salah satu perusahaan yang memberikan jasa desain dan arsitektur, yang berarti satu dari kedua hal tersebut adalah profesinya: desainer atau arsitek.

Wow, pantas saja kalau perempuan yang datang di hidupnya tak ada hentinya, orang profesinya saja sangat upscale dan berkelas.

Sedangkan aku? Well, aku beruntung masih bisa bertahan hidup dengan penghasilanku yang pas-pasan dari perusahaan kopi ini. Ibuku selalu bilang untuk selalu bersyukur, meski banyak hidup orang lain yang terasa lebih... segalanya. Lebih mewah, lebih bahagia, lebih... but well, I can't complain, karena nyatanya pekerjaanku sekarang cukup menyenangkan, apalagi diiringi beberapa teman kerja yang secara mudah menjadi sahabat dekatku, misalnya saja: Gea.

"Lo harus telepon dia," ujarnya setelah menemukanku menatap kartu nama Raza untuk beberapa menit diantara tumpukan stock merchandise yang baru saja dikirim dari warehouse.

Lihat kan? Caranya ikut campur di hidupku sudah seperti ia mengenalku sejak kanak-kanak, padahal baru tiga bulan aku bekerja dengannya.

Aku tertawa, "Kok, lo seenak udel sih, nyuruhnya?"

"Karena lo akan bertingkah bodoh dengan melewatkan date-of-a-lifetime bersama man-of-a-lifetime hanya karena lo...nggak tahu deh, takut apa males nelepon?"

Oke, Gea benar. Aku takut menelepon lelaki itu. Walau ia jelas-jelas memberiku kartu namanya dan memintaku meneleponnya... tapi, bagaimana kalau itu hanyalah basa-basi? Bagaimana kalau Raza bahkan tidak ingat ia memberikan kartu namanya padaku? Bagaimana kalau setelah aku meneleponnya, ia malah menganggapku cewek yang...well, too easy?

Tanpa kusadari sebelumnya, Gea sudah berada di hadapanku. Ia menunjuk jarinya padaku, "Lo terlalu overthink. Jangan terlalu keras analisa situasi, Ara. Damn it, Raza bukan tipe cowok yang seharusnya lo analisa sebegininya!"

"Teruuus, Raza tipe cowok yang...?" aku meminta Gea melanjutkan kalimatku. Tanpa kuduga, perempuan berisi itu malah terkikik, "Jangan lo tanya kalau lo nggak mau kata-kata nggak senonoh muncul dari bibir gue." Katanya sambil berlalu keluar backroom membawa satu tray berisi berbagai macam makanan untuk dipajang di showcase. Aku mengernyit, geli dengan pemikiran Gea yang bisa-bisanya selalu ke arah yang tidak senonoh. Tapi, Gea memang benar. Aku terlalu banyak berpikir, padahal ini baru jam sembilan pagi. Mungkin, seharusnya aku tak usah berpikir sama sekali?

Aku hampir saja menekan nomor Raza di ponselku dan meneleponnya, ketika ponselku malah berdering lebih dulu.

MAMA.

Aku menghela nafas dalam-dalam.

Bukannya aku tak suka Mama menelepon. Tetapi, setiap kali Mama meneleponku... aku selalu dibuat rindu setengah mati pada rumah. Membuatku ingin pulang saja ke kotaku dan melupakan apa yang sedang kuperjuangkan disini. Untukku. Untuk keluargaku. Untuk Papa.

"Ma," sapaku, berusaha terdengar ceria demi Mama yang langsung menyambutku hangat di ujung sambungan telepon, "Ara, Nak. Gimana kabarnya? Kok, Mama tungguin nggak nelpon-nelpon sih Nak?"

Ah, iya. Dua hari lalu aku janji menelepon Mama tetapi terlupakan karena aku terlalu lelah setelah masuk shift closing dan harus membereskan toko hingga dini hari.

Coffee for TwoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang