CHAPTER II

41 2 0
                                    

Aku duduk di hadapan Raza yang memandangiku dengan intens selama sepuluh detik terakhir tanpa kata-kata. Mungkin, ia sedang memikirkan bahan obrolan denganku, atau mungkin Ia menungguku untuk mengajaknya mengobrol terlebih dahulu?–atau lebih mungkin lagi, diam-diam ia menyesal sudah mengajakku untuk duduk meminum Mocha Frappuccino bersama.

What was he thinking anyway?

"Ara," ucapnya akhirnya, membuatku langsung mengangkat kedua alisku untuk menunggu kata-katanya selanjutnya. "I was just thinking...you look just perfect in green apron."

Deg, hatikku menghentak ketika mendengar kata-katanya. Pikiranku langsung melayang pada perempuan-perempuan yang Ia bawa kemari berminggu-minggu lalu dan buaian macam apa yang ia lontarkan pada mereka. Dan kini, aku adalah salah satu diantaranya.

Tapi tunggu... apakah dengan kata-katanya ia bermaksud bahwa aku tak terlihat menarik kalau melepas apronku? Hanya dengan kemeja hitam berlengan panjang dan rok selututku? Am I look too plain? Aku langsung memandang tubuhku dari atas sampai bawah, yang tentunya ia sadari karena ia langsung meralat perkatannya, "Maksudnya..., nggak banyak kan, orang yang terlihat menarik ketika memakai apron?" lalu ia tersenyum.

Oke, lelaki bernama Raza ini adalah raja buaian dan aku mulai mengerti kenapa ia bisa dengan mudahnya mengajak perempuan yang berbeda-beda setiap minggu untuk jalan-jalan. With that intense stare and heavenly words—oh, and that killer smile, too—who won't fall for him?

Bahkan aku saja sudah tertarik pada medan gravitasi menuju Raza sebelum mendengarnya berkata-kata semanis ini. Ugh.

"Apa kamu akan biarin saya bermonolog sepanjang malam?" ucapnya, menyadarkanku bahwa aku belum menyahut kata-katanya sekalipun. Aku pun langsung tersadar dan bergumam, "Maaf..." yang mungkin hanya terdengar olehku sendiri.

"Seenggaknya, kamu bisa coba Mocha Frappuccino yang—ternyata—enak itu."

Aku tertawa. Raza yang bertubuh besar suka minum Frappuccino? UNLIKELY.

"Apa?" tanyanya, meminta alasanku yang tiba-tiba saja tertawa. Aku menggeleng, "Nggak... cuma, mas Raza dan Frappuccino? Itu adalah hal terakhir yang bakal muncul di pikiran saya."

Ia ikut tertawa, seolah setuju dengan pendapatku. Tetapi, kemudian ia kembali berkata, "Seperti saya bilang... saya pengen sesuatu yang berbeda malam ini."

"Seperti ngajak seorang barista untuk duduk bersama dan minum minuman yang ia buat sendiri?" pertanyaan yang berkelebat di pikiranku langsung saja kulontarkan tanpa pikir panjang.

Ia tampak terkejut sejenak dengan pertanyaanku, tetapi kemudian mengangguk, "Yep, exactly." lalu menyunggingkan senyum.

"Jadi, mas Raza, apa yang bikin laki-laki kayak mas ngajak saya untuk duduk bareng dan minum—ini," aku menyesap Mocha Frappuccino-ku yang sudah mulai terasa hambar karena es yang mulai meleleh itu.

"Mungkin bisa dimulai dengan cerita kamu tentang: apa yang kamu maksud dengan 'laki-laki kayak saya?' oh, dan, please, panggil Raza aja."

Aku terdiam. Oke, nggak mungkin kan kalau aku menjelaskan padanya bahwa aku hapal betul kebiasaannya yang sering membawa berbagai macam perempuan kemari?

"Mas Raza—eh, sori, kamu, Raza—sepertinya bukan tipe orang yang suka ngobrol sama orang asing." Ucapku asal akhirnya.

"—tapi kamu bukan orang asing, Ara."

Caranya melontarkan kata-kata itu membuatku merasa aku sudah mengenalnya cukup lama dan merupakan sebuah fragmen di hidupnya. Padahal, kenyataannya, yang ia maksud adalah Ara bukanlah orang asing karena Ara adalah barista di tempat ini.

Coffee for TwoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang