Prolog

157 6 2
                                    

"Tidak selamanya yang menurutmu buruk benar-benar buruk. Bisa saja, justru yang menurutmu baiklah yang mengecewakanmu."

***

KAFE Seuntai, 16.00, 2016

Alunan musik klasik dari sebuah piano mengalun begitu merdu membelai telinga para pengunjung, ditemani oleh secangkir caramel coffe yang mungkin sudah dingin.

Tepatnya di meja nomor 9, Linka duduk sendirian. Menunggu, menunggu, menunggu, itulah yang digerutukannya sedari tadi.

"Kenapa, sih, cewek harus selalu nunggu?" tanya Linka pada dirinya sendiri. Sedari tadi wajahnya ditekuk karena yang ditunggu tak kunjung datang.

Dress polos selutut berwarna biru langit, rambut yang dibiarkan terurai alami, dan wedges setinggi 5 cm cukup membuat Linka tidak betah berlama-lama di kafe ini. Ditambah penampilannya yang membuat ia merasa "it's not me". Ayolah, yang dibicarakan di sini adalah seorang Alinka---siapa yang tidak kenal dengan cewek yang terkenal dengan tabiatnya yang khas di SMA-nya dulu ini?

Kemudian ia terdiam. Mengingat-ingat tentang masa lalunya ketika pertama kali ia bertemu dengan, dia. Entah kenapa, mimikirkan itu membuatnya senyum-senyum sendiri seperti gadis idiot.

Mungkin tepatnya adalah empat tahun yang lalu.

TAHUN 2012.

Alinka atau biasa dipanggil Linka adalah gadis tomboy berpenampilan cuek. Sehari-hari rambutnya hanya dikuncir kuda dan ia sama sekali tidak ingin mengubah penampilannya. Tidak ada yang bisa merubah apa pun darinya. Tidak satu orang pun, bahkan orang yang telah menggetarkan hatinya. Ia juga merupakan salah satu pentolan sekolah.

Bulan ini Linka memasuki kelas XI semester genap. Ia sama sekali tidak mengikuti ekskul di sekolahnya, mungkin karena tidak tertarik. Yang setiap hari ia lakukan hanyalah hangout bersama teman-temannya.

Dari awal, Linka sangat menyukai sesuatu yang berbentuk lingkaran atau bulat, termasuk kecintaannya pada bola-termasuk bola basket.

"LINKAAA!" panggil Sasha dari kejauhan dengan histeris dan suara yang nyaring. Suaranya menggema di antara koridor utama. Linka pun membalikkan badannya yang semula memunggungi Sasha.

"Ada apa, sih, Sha?" tanya Linka dengan tatapan datar, kantung matanya yang menghitam menambah kesan ngeri bagi orang-orang yang ingin menyapanya. Ini adalah efek dari begadang nonton bola, dan sayangnya tim jagoannya kalah telak dengan point nol.

Di depannya, Sasha memegang kedua lututnya sambil berusaha mengatur napas.

"Fe-Feran," pekik Sasha dengan terbata-bata.

"Siapa, dah? Gak kenal gue." Ini entah keberapa kalinya Linka mendengar nama itu, namun tetap saja ia terlihat acuh. Alis matanya mengkerut tanda sedang berpikir.

Linka? Mikir? Mungkin itu hanyalah akting agar membuat Sasha kesal.

"Ih, gimana, sih, lo--" Sasha masih mengatur napasnya, --"dia tuh anak pindahan dari beberapa bulan yang lalu. Perasaan baru juga kemarin gue cerita ke elo."

"Oh ..., si biang kerok baru? Sahabatnya pacar lo, kan?" Linka berusaha mengingat-ingat. Sasha pun tahu tabiat Linka tentang hal yang satu ini, karena seorang Linka hanya mengingat sesuatu yang menurutnya penting. Sasha sebenarnya juga heran, tapi ia hanya berpikir "mungkin saja sewaktu kecil kepala Linka pernah terbentur dan kehilangan sebagian alat penyimpanan di otaknya".

LinkaRan /ON HOLD/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang