Medicine

62 5 0
                                    

Aku mencoba menggapai tangannya namun tak kena. Aku coba lagi, dan itu membuatku ingin mengeluarkan semua amarahku padanya.

"Apa yang salah? Aku yang salah? Kalau begitu salahku apa?"

Punggungnya masih membelakangiku, ia hanya terdiam tak membalas perkataanku. Hujan membasahi tubuh kami berdua. Aku ingin berteriak tepat di mukanya atau apapun agar perasaan marah ini menghilang dari pikiran dan hatiku.

"Bosan? Sebosan apa kau sehingga membuat keputusan seperti ini?! Apa aku terlalu menjengkelkan untukmu?"

Dia melihatku, kami bertatapan namun dia langsung menatap ke bawah. Kemudian mengambil payung yang aku tinggalkan dan mencoba memayungiku.

"Jangan membuat dirimu sakit karena hujan."

Ia berdiri tepat di depanku membuatku kami berhadapan namun dia masih memalingkan tatapannya.

"Apa kau ingin aku membencimu? Tidak, itu bukan sebuah pertanyaan. Aku sudah mulai membencimu saat ini. Apa alasannya? Sehingga aku bisa melepasmu."

Aku mencoba menahan tangis ini dan mencoba untuk berfikir jernih.

"Aku. Aku menyukai seseorang. Awalnya aku anggap ini hanya perasaan sebagai teman namun entah mengapa aku mulai benar-benar mencintainya. Setelah aku menyadari itu, aku sudah tak memiliki perasaan lagi padamu."

Aku menampar pipinya, namun suara sakit hati lebih terasa daripada suara benturan antara tangan dan pipi yang tertutup suara hujan ini.

"Pergi! Aku tak ingin lagi melihatmu!"

Dia menarik tanganku namun aku hempaskan.

"Pegang ini, dan jangan sampai sakit. Jangan membuatku semakin bersalah."

Dia menarik tanganku lagi untuk memegang pegangan payung.
"Semakin bersalah? Kamu malah harus lebih merasakan sakitnya terkhianati. Jangan pedulikan apapun tentang ku lagi-"

Aku berhenti berbicara.

"Mungkin harusnya aku bilang. Jangan sok peduli! Tampang munafik seperti itu juga."

Dan aku pergi melepaskan pegangan payung itu, pergi dari hadapannya dan lari meninggalkan dia.

Dasar pengkhianat.

.
.
.
.

1 tahun telah berlalu, perasaan yang aku simpan selama beberapa bulan ini sudah terlewati dan hilang.

Namun saat ini yang berdiri di hadapanku adalah orang yang aku benci. Laki-laki yang telah aku lupakan, namun mengapa ia hadir lagi?

Ia hanya memandangku sejenak, lalu ia meneruskan langkah kakinya melewatiku.

Pengkhianat.

Entah mengapa pertama kali bertemu dengannya, sejak terakhir aku melihat wajahnya. Saat ini yang aku rasakan adalah marah bukan rindu. Antara marah ingin menamparnya lagi atau memukulnya hingga mati. Sampai dia tak pernah ada dalam pikiran dan bayangan mataku. Aku membencinya, namun jauh di lubuk hatiku, aku masih bertanya pada diriku sendiri. Mengapa wanita seperti diriku ini, bisa ditinggalkan oleh pria yang sangat dicintainya?

Aku baik-baik saja, kata-kata itu terus aku ucapkan dalam hati. Mencoba untuk menenangkan hatiku, namun air mataku mulai keluar mengingat sakit hati yang dulu. Aku menundukkan wajahku, aku paksakan kakiku terus berjalan. Menangis dalam diam, padahal aku sudah berjanji tak akan menangisinya lagi. Namun apa yang aku lakukan? Si keparat itu tak berhak aku tangisi.

Aku terlihat menyedihkan sekali. Jangan menangis. Tolong hentikan tangisan ku. Siapa saja...

Langkah kedua kakiku dihentikan oleh pegangan tangan seseorang di kedua pundakku. Aku mengangkat kepalaku, mencoba melihat siapa orang itu. Saat aku melihat dimulai dari bajunya kemudian leher menuju bibirnya dan mat- ia langsung mendekapku. Aroma jaket ini..

After The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang