Perjalanan Dimulai #6

267 12 3
                                    

Matahari bertahta di puncak langit, kelihatan benderang dan lenglang, tak ada arakan awan kumulus yang menghijab keangkuhan sinarnya.

Ghan turun dari kereta api, entah ia berada di mana, sebab ia belum hapal seluk-beluk Bandung. Ia melangkah tak tahu arah. Dalam langkah yang tidak menentu, ia teringat pada ibunya. Sedang apakah beliau sekarang, pikirnya terbayang pula tangisan ibunya ketika mengucapkan kata-kata perpisahan.

Kelebatan bayangan Pak Djalil hadir, ia menyemangatinya ketika didera rasa putus asa dan takut menghadapi hidup. Sungguh Ghan tidak mengetahui Bandung. Ia bingung dan panik, apa yang sebaiknya ia lakukan.

Pada saat seperti itu, Ghan teringat ungkapan Kahlil Gibran, Sebenarnya yang paling penting bagi manusia, terletak pada keinginanya,bukan hasil dari usahanya.

Hati Ghan membenarkan kata-kata itu. Seperti halnya mencari ilmu, yang wajib itu adalah proses pencariannya, bukan hasil dari pencarian itu sendiri. Hasil, semata-mata merupakan efek positif yang tak perlu dicari, karena akan datang dengan sendirinya.

Kaki Ghan merasa kaku, ia sudah tak kuat lagi berjalan. Ia pun berhenti, masih di sekitar rel, ia duduk di tempat pinggir rel ia menafakuri alam sekitar. Sebelah selatan terhampar pesawahan, sebelah utaranya pemukiman. Sedangkan rel membujur dari timur ke barat. Dalam kondisi seperti itu, ia sangat lapar dan dahaga. Lalu ia buka sedikit perbekalan di tas cangklongnya, bekal dari ibunya berupa bungkusan nasi dan goreng ikan laut segar, juga ingsang ikan pari hasi tangkapannya.

Saat makan, terdengar deru lokomotif. Kereta bergerak mendekatinya. Sejenak ia berhenti memperhatikan kereta yang akan lewat di hadapannya, terasa pula tempat yang didudukinya sedikit bergetar karena kereta makin dekat.

Mata Ghan tiba-tiba terbelalak ketika melihat ke arah barat yang sebentar lagi akan dilewati kereta. Di sana ada sosok perempuan yang berdiri tegak di tengah rel. Jarak perempuan itu sekitar lima meter dari Ghan. Ghan melihat kereta tengah melintas, sekitar sepuluh meter lagi jaraknya. Segera ia berusaha menyelamatkan perempuan itu.

"Lepaskan!" wanita itu menolak.

"Kamu harus turuti kata-kataku!" ucap Ghan dengan tegas.

Kereta makin mendekat, sekitar tiga meter. Dalam hitungan detik, kereta itu siap melibas apa yang ada di depannya tanpa rasa kasihan.

"Aayooo!" bentak Ghan dengan terus berusaha menariknya dengan seluruh tenaganya, tetapi gadis itu tetap diam dan malah memejamkan mata seolah-olah siap menyambut maut.

Ghan sempat putus asa, tiba-tiba saja terbesit ide di kepalanya. Yaa Allah, semoga aku berhasil, harapnya penuh tawakal. Lalu Ghan mendorong gadis sipit itu ke arah selatan rel, berseberangan dengan arahnya sendiri. Dorongan yang demikian kuat itu akhirnya berhasil membuat gadis itu terpelanting keluar rel. Alhamdulillah, desah Ghan. Kereta melaju, menginggalkan Ghan dan perempuan itu.

Ghan menghampiri gadis itu, ia masih terkulai di atas kerikil tajam, terdengar suara perempuan itu mengaduh. Ghan tersenyum campur tawa memperhatikannya.

"Maaf ya. Saya terpaksa melakukannya," ujar Ghan.

"Maaf, lu bilang? Mendingan gue mati aja. Ngapain sih lu nyelamatin gue? Mau jadi pahlawan? Basi lagi! Gue boro-boro mau berterima kasih sama lu, yang ada gue malah sebel mau muntah, enek lihat muka lu. Gue pengen mati aja, elu gagalin rencana gue," gerutu perempuan itu.

Ghan sekilas memandang perempuan itu. Seperti pernah dia liat, tapi dimana? Pikir Ghan. Akhirnya Ghan teringat. Dia perempuan yang pernah ketemu di pantai Pamayangsari sewaktu menyelamatkan pacarnya. Tapi Ghan tidak terburu-buru mengingatkan perempuan itu, kuatir salah orang dan dianggap sok kenal.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Meretas AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang