Chapter 2: Phasmophobia - Fear of Mystical Things (e.g. ghosts)
Pagi-pagi benar, belum juga genap pukul enam, Dea berjalan gontai ke kelasnya, 11 MIPA-2. Bayangkan, ia harus meninggalkan barang sepenting itu di mobil seorang cowok! Mana cowok sejenis Levi pula! Rencana awal, Dea berniat bolos dan sembunyi di kasurnya yang empuk sepanjang hari. Tapi resikonya ketinggalan ulangan sejarah yang sudah semalam suntuk ia pelajari. No way.
Nadia, yang selalu datang kepagian sudah stand by di bangkunya seperti biasa, asik dengan buku cetak sejarah. Dea menghampirinya dan mulai bercerita panjang lebar tanpa aba-aba.
"Nadiaaaa! Lu harus dengerin cerita gue! Kemaren gue pulang telat, Pak Ucup kagak jemput-jemput lagi. Terus gua ngikut aja mobilnya Levi, tumben dia lagi baik," Dea mengambil napas panjang dan melanjutkan ceritanya, "Dan gua tololnya ninggalin tas pembalut gue di mobilnya! Udah gue ancem kemaren buat jangan buka tasnya, tapi tetep aja gue takut!"
Nadia yang semula sibuk terbenam dalam buku yang tebalnya naudzubilah mengangkat wajahnya antusias, "Kok lo bisa seceroboh itu sih, De? Kalo Levi beneran buka tasnya gimana? Mampus dah lo."
"Aduh jangan tanya gue, gue juga gak nyangka bakal ketinggalan. Gue harus gimana dong, Nad?"
Saat itu juga, pintu terbuka kencang. Levi masuk kelas sambil berjalan ala artis Hollywood di karpet merah.
"Tas lu." Levi melempar tas mungil itu dengan sangat-tidak-elegan.
"Lu buka kan tasnya?! Ngaku lu!" Dea menyilangkan lengan di depan dada sambil menatap tajam kearah Levi. Andai tatapan dapat membunuh, Levi pasti sudah terkapar tak bernyawa sekarang.
"Sumpah gua kagak buka! Apaan sih ribet banget tas gituan doang!"
Ivander, sebagai ketua kelas merangkap sobat Levi, tak tahan melihat kedua orang itu berargumen tanpa henti. Dari depan pintu kelas ia berteriak cemas, "Udahan woi! Itu Bu Evlin dikit lagi nyampe! Gak tanggung gue ya kalo lu berdua dihukum lagi!"
"Diem lu bacot!" Serentak Levi dan Dea menyembur ke arah Ivander. Dengan timing yang sempurna, muncul Bu Evlin, guru sejarah paling killer seantero SMA 7 Tirta Jaya, tepat di belakang ketua kelas.
***
"Coba lu pikir deh. Kita udah tiga kali terjebak di situasi gini." Dea yang semula memotong-motong kertas sambil melamun angkat bicara.
"Menurut lu itu salah siapa?" Levi balik ngedumel, "Idup gue selama ini tenang, kalo bukan gara-gara lu!"
Dea menatap Levi serius, seolah kalau ia tidak menyampaikan ini sekarang juga, keselamatan hidup mereka terancam, "Bukan gitu maksud gue. Keadaan kita ini udah ada unsur-unsur mistisnya gitu lhoo. Denger deh, kejadian dua kali mungkin kebetulan, kalo tiga? Pasti ada sesuatunya. Takdir kali?"
Gila kali ni orang, Levi makin sewot. Tak mau ambil pusing, ia fokuskan tatapannya ke maket sejarah setengah-jadi di hadapannya. Kota Athena versi pas-pasan terpampang di sana. Bangunan-bangunan Styrofoam ala Yunani kuno berdiri megah. Tak lupa Styrofoam setengah-hancur yang dikatakan sebagai rumah rusak akibat Perang Troya. Ya, berkat kejadian tadi pagi, Levi dan si pembawa sial ini harus menghabiskan waktu pulang sekolah mengerjakan tugas ekstra dari 'Mama' Evlin tercinta.
"Vi, kok warna rumahnya ada pink-pink nya gitu sih? Gak cucok ah."
"Itu darah." Levi menatap Dea dengan pandangan yang mengatakan 'tolol banget lu, darah aja kagak tau'. "Plis deh ,Vi. Darah itu warna merah," Dea cekikikan melihat rumah yang lebih mirip istana Barbie itu.
Levi malah menatapnya sinis, "Cat merah gue abis. Soalnya ada orang tolol yang numpahin tadi." Dea mendengus kesal mendengar bahwa dirinya lah yang disindir. Jangan salahkan Dea, salahkan Levi yang menaruh cat-catnya dengan asal sehingga Dea - tanpa sengaja menyenggol cat merah darah. "Cih."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Apocalypse
Fiksi RemajaPernah punya seseorang yang membuat hidupmu sial terus? Yang tak bosan-bosan merusak harimu? Prinsip hidup Levi simpel, sesimpel hidupnya. Nilainya biasa, tampangnya biasa, hidupnya pun biasa. Bukan, ini bukan cerita tentang anak biasa-biasa saja ya...