Cahaya yang sangat terang mengaburkan penglihatanku. Membuat aku harus mengerjapkan mataku berulang-ulang kali agar terbiasa dengan cahaya.
Setelah mataku terbiasa dan kembali normal, aku mulai bisa melihat bangunan yang sama seperti apa yang kulihat tadi pagi.
"Nah, ini laboraturium yang kuceritakan pada kalian tadi pagi, bagus bukan?" ucapku lalu membalikkan badan untuk melihat bagaimana tanggapan kedua sahabatku yang berada tepat dibelakangku.
Ekspresi wajah mereka sungguh aneh. Mata mereka fokus melihat ke arah bangunan yang sekarang berada dibelakangku, dengan mulut setengah terbuka. Sepertinya mereka tak mendengar perkataan ku barusan.
"Ini bukan laboraturium lagi, ini istana namanya!!" Teriak Niar tiba-tiba, yang membuat aku dan Ami terkejut.
"Tidak, memang jika kau melihat dibagian luar, kau akan berfikir bahwa ini sama sekali tidak mirip seperti sebuah laboraturium, tapi kau belum melihat bagian dalamnya, bukan?" Sanggahku akan pemikirannya.
"Memang seperti apa bagian dalamnya?" Kali ini Ami yang bertanya.
"Sulit dijelaskan, lebih baik kalian lihat saja sendiri" ucapku.
Aku berjalan kearah pintu, namun aku tak merasa mereka mengikutiku. Aku membalikkan badanku kebelakang untuk memastikan bahwa mereka berdua mengikutiku.
Mereka masih berdiri sambil mengernyitkan dahi, mereka kenapa sih?
"Ami! Niar!, tunggu apa lagi? Ayo masuk" panggilku dengan nada agak tinggi agar mereka mendengarnya.
Mereka seperti baru tersadar, dan berjalan menghanpiriku, yang mungkin berjarak lima meter dari tempat mereka berdiri tadi.
Kami berjalan menuju ke arah pintu besar laboraturium ini. Tanpa perlu dibuka lagi, pintu ini terbuka dengan sendirinya, membuat Niar dan Ami terkagum-kagum karenanya. Lalu kami berjalan santai memasuki ruangan luas serba putih.
"Wah, benar perkataanmu Thea, ini memang benar-benar laboraturium" ucap Niar kepadaku.
Sedetik kemudian kami sibuk melihat-lihat, benda-benda aneh yang keren dan canggih.
Biar kusebutkan, ada banyak sekali botol-botol kaca berbagai bentuk dengan warna-warna
Beragam, yang mengeluarkan asap dingin dibagian atasnya, lalu ada benda semacam teropong besar dengan baja yang melapisinya, juga berbagai jenis alat-alat aneh, yang tak bisa kusebutkan satu persatu.Selain dari itu, ada ruangan berukuran sedang yang berisi kasur, lemari, dan meja yang penuh dengan buku dan kertas, kupikir ruangan itu adalah sebuah kamar tidur sekaligus ruang kerja. Ruangan itu hanya menempati sebagian kecil dari laboraturium ini. Aku heran, apakah tak ada kamar mandi di laboraturium seluas ini?.
Dindingnya polos, tak ada apapun yang digantung selain sebuah cemin besar berbentuk bundar yang berada didekat jendela kecil ditengah dinding.
Kulangkahkan kakiku menuju cermin bundar, yang tingginya seukuran dengan badanku, juga lebarnya yang dua kali lebar badanku.
Tak ada yang menarik dari cermin raksasa ini, selain ukiran kayu jati yang sangat cantik berbentuk naga, yang mengelilingi setiap sisi cermin ini. Cermin ini terbuat dari kayu jati berkualitas asli Indonesia.
Cermin ini sangat besar dan unik. Harganya pastilah sangat mahal. Benar bukan, jika ruangan ini lebih mirip museum daripada laboraturium?
Tapi ada yang aneh, kepala naga ini terbuat dari kayu yang berwarna coklat muda, sedangkan bagian lainnya terbuat dari kayu berwarna coklat gelap.
Tidak tahu kenapa, aku menyentuh bagian kepala naga yang berbeda tersebut, seketika seluruh Bagian tubuh dari ukiran naga tersebut berubah warna dari coklat gelap menjadi coklat muda.
Cermin yang tadinya bening, kini berganti menjadi layar transparan berwarna kuning. Sungguh, aku benar-benar terkejut dibuatnya.
Ami dan Niar berlari kearahku, mungkin karena mereka juga melihat hal aneh yang sedang terjadi.
"Apa itu, thea?" Tanya Niar kepadaku. Namun, aku pun tak tahu, sehingga aku hanya menggelengkan kepalaku sebagai jawabannya.
"Selamat datang di mesin waktu menuju masa depan, professor vero"
Tiba-tiba cermin itu berbicara, membuat kami sedikit terlonjak kebelakang.
"Masa depan? Ini mesin waktu?" Tanya Niar bingung. Aku pun bingung, mesin waktu? Aku pernah melihat mesin waktu, dan itu hanya di televisi yang menayangkan cerita fiksi.
Bentuknya pun, sama sekali tidak mirip dengan cermin aneh ini.
"Ayo masuk!!" Ajak Ami yang menyadarkanku dari kebingunganku.
"Iya, ini pasti akan jadi pengalaman yang sangat seru!" perkataan niar memang benar. Tapi, apakah mereka tidak merasa aneh dan tidak memikirkan resikonya?.
Tapi terlambat, Ami sudah masuk kedalam cermin berlayar kuning, yang dalam sekejap tubuh Ami hilang dibalik cermin itu.
Lalu, layar yang tadinya berwarna kuning, kini menjadi berwarna coklat.
"Ayo Thea, kapan lagi kita dapat berpetualang secara nyata" itu adalah kalimat terakhir Niar sebelum ia pun masuk kedalam cermin berlayar coklat tersebut.
Bagaimana ini, haruskah aku kembali saja ke rumah dan menyimpan rapat-rapat kejadian ini?? Atau aku harus mengikuti Ami dan Niar memasuki mesin waktu berbentuk cermin ini?
Tapi, jika aku kembali, aku tak tahu apakah Ami dan Niar akan baik-baik saja. Namun, jika aku mengikuti mereka, apakah aku akan kembali ke dunia ini?
Tak ada waktu untuk memikirkan itu, lebih baik aku menyusul mereka dan memastikan keadaan mereka. Urusan kembali atau tidaknya aku kesini, urusan belakang.
Bukannya selain Ami dan Niar tak ada yang peduli padaku? Jadi, aku harus melindungi dan memastikan keadaan mereka. Merekalah satu-satunya alasanku untuk hidup.
Aku memantapkan keputusanku, lalu aku mulai melangkah memasuki cermin yang tidak tahu sejak kapan kini berwarna putih, seputih susu.
Yang kurasakan setelah aku memasuki cermin adalah, rasa pusing yang hebat. Aku hanya melihat kabut putih dimana-mana. Dadaku sangat sesak, sepertinya tak ada oksigen disini.
Samar-samar aku mendengar seperti suara bisikan yang terdengar kaku dan datar. Aku juga tak tahu itu suara perempuan atau laki-laki.
"Terjadilah seperti apa yang kau rasakan di dalam hatimu"
Pandanganku buram, namun bisa kupastikan aku bukan lagi berada di dunia penuh kabut itu, aku merasakan hawa dingin menusuk kulit dan air mulai membasahi tubuhku.
Dadaku kembali sesak, dan kepalaku bertambah pusing. Apa yang terjadi? Tubuhku serasa terombang-ambing. Selanjutnya, tubuhku terjatuh di atas rerumputan hijau yang basah..
Oh tuhan, mengapa aku terkena pusing, asma dan rabun secara bersamaan.
Padahal seingatku aku tak mempunyai penyakit asma maupun rabun, baik rabun jauh maupun rabun dekat.
Aku tidak pingsan, hanya sekarang, aku tak dapat bergerak sedikitpun
Dan aku tak tahu, kapan ini akan berakhir...
***
Maaf nggak sesuai dengan janji ya ngepostnya..
Kalau ada kritikan atau mau ngasih saran silahkan comment ya..
Aku masih belajar membuat tulisan yang baik dan sopan
Tunggu kelanjutannya di part selanjutnya. Jangan lupa vote dan comment..
Selamat malam Indonesia...

KAMU SEDANG MEMBACA
CHANGE THE FUTURE
Science FictionThealra, seorang siswi berusia delapan belas tahun yang selain cantik, ia juga cerdas,ramah, dan sopan. Tak seperti gadis lainnya yang sangat menyukai hal yang berbau perempuan diusianya yang sangat belia, Thea malah sangat menyukai hal yang berbau...