SD IBUKU

36 4 3
                                    

Hari ini aku mendaftar sekolah kawan, ayah dan nenek yang mengantarku, aku sangat bersemangat, tas dan sepatuku baru, semuanya baru, dibelikan ayah dan budhe yang lebih biasa ku panggil mama. Ku amati gedung tua berdinding yang ku tau saat ini warnanya coklat, masih sedikit yang ku ketahui perihal warna, mungkin nanti kalau aku sudah besar, aku tau dinding bangunan ini sebagian besar berwarna krem, lalu ada garis coklat di beberapa bagian, gedung tua ini terdiri dari satu bangunan memanjang dengan tiga pintu, dua bangunan agak jauh dan terpisah, satu bangunan memanjang tanpa pintu dan atap serta dindingnya berlubang dimana-mana, dan yang terakhir satu bangunan yang aku tau adalah kantor guru, aku berada di dalamnya bersama ayah dan nenekku, aku tidak memperhatikan apa yang mereka bicarakan dengan bapak dan ibu berseragam itu, cuma sedikit yang kudengar

"Anak saya ini ingin sekolah, masa' anak sekolah tidak boleh?" Ayahku setengah emosi, matanya sedikit melotot.
"Iya pak, kami mengerti, tapi usia anak bapak belum cukup, saran kami, bapak daftarkan anak bapak ke sekolah TK atau anda daftarkan kesini dua tahun lagi." Seorang ibu berseragam yang terlihat lebih tua dari yang lain mencoba menjelaskan.
"Cucu saya ini anaknya nggak nakal kok bu, dia anak yang pintar." Nenekku ikut bicara.
"Tapi... " Ibu berseragam tadi mencoba menyangga.
"Udah, kamu belikan anak ini buku, suruh dia menulis disini, biar mereka tau kalau cucuku ini pintar, dia sudah bisa menulis dan hafal huruf-huruf."

Nenekku emosi juga, ayahku pun keluar dari kantor berisi orang-orang yang kukuh menolakku untuk menuntut ilmu di sekolah tua berdinding coklat ini, yang ku tau disinilah dulu ibuku bersekolah.

***

Setengah dari satu halaman ku isi dengan huruf-huruf yang di ujikan kepadaku, bapak dan ibu berseragam itu saling memandang satu sama lain dengan ekspresi yang aku tak mengerti
"Sudah lihat kan? Cucu saya bisa menulis?" Tanya nenekku menang.
"Jadi bagaimana bu? Pak? Tolong lah pak, bu, setidaknya biarkan dia duduk di dalam kelas, ikut belajar, nanti kalau dia menyusahkan, saya tidak keberatan kalau dia baru bisa daftar dua tahun lagi, dia sangat ingin sekolah." Tambah ayahku sambil memohon.

Aku hanya memandang mereka tanpa berpikir apa-apa, lalu si ibu berseragam yang aku perhatikan sejak tadi lebih banyak bicara dari yang lain, berbicara lagi
"Baiklah pak, anda bisa menitipkan anak bapak, anda bisa membawa anak bapak ke kelas. Pak, tolong antar mereka ke kelas satu."

***

Akhirnya kawan, akhirnya! Aku berada dalam ruangan yang disebut kelas, tempat ilmu-ilmu di ajarkan, bukan cuma menulis, ada berhitung, membaca, dan menggambar, temanku banyak kawan, tapi aku belum bisa berhitung lebih dari dua puluh, yang aku tau mereka banyak. Tapi kawan, mereka semua memakai atasan putih, yang perempuan memakai rok merah sedangkan yang laki-laki memakai celana selutut berwarna merah juga, dan sepatu mereka, keren! Semuanya memakai sepatu warna hitam dan terlihat baru. Kulihat diriku sendiri, paling kecil diantara mereka, memakai dress setutut berwarna hitam variasi lis dan bordir warna merah, sepatuku? Bukan main, sepatuku warna biru, mungkin saat aku dewasa aku akan terbahak-bahak mengingat penampilanku saat ini. Meski demikian, aku tak malu sama sekali, dengan penuh percaya diri aku duduk di bangku terdepan, ibu berseragam tadi datang dan memperkenalkan aku, ternyata beliau adalah kepala sekolah dan mengajar di kelas satu. Aku sangat senang kawan, setiap kali bu Lilik, bu kepala sekolah itu mengajukan pertanyaan, sebisa mungkin aku mengacungkan tangan dan menjawabnya. Aku, disini, di sekolah ibuku, SDN Kunjorowesi I Ngoro-Mojokerto, berangkat sebagai Karina, anak berusia tidak genap lima tahun yang sangat ingin sekolah.

PION KECILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang