ORIGAMI (#1)

16 5 5
                                    

"Sedang apa rin?"
Aku mengangkat muka, memandang wajah ibuku yang berdiri disebelahku.
"Tadi bu guru ngasih PR, suruh nulis biodata."
"Oh, ya udah, cepet kerjain, kalo udah selesai langsung maem ya."
Aku mengangguk, ibuku memalingkan badannya hendak berlalu, namun kuhentikan langkahnya.
"Bu.."
"Ya?"
"Nama lengkapku siapa?"
"E.... Karina... E... Karina..."
"Iya Karina siapa bu? Kan ada terusannya."
Tampak sekali wajah ibuku sedang kebingungan, hmmm masa' sih nama anaknya sendiri nggak hafal? Ah sudahlah, bagaimana PR ini cepat selesai jika aku terus membahas itu, lebih baik aku menghampiri pria gondrong bertelanjang dada yang sedang sibuk mengotak-atik berbagai macam bentuk besi di hadapannya.

"Ayah."

Panggilku sambil memperhatikan tangan kotor itu mengencangkan baut-baut yang ia dipasang pada motor ringsek yang diperbaikinya, ya ayahku ahli memperbaiki motor.

Kuberitahu kau kawan, yang sedang diperbaikinya saat ini adalah motor kawannya, motor itu rusak karena dibakar musuh dari kawan ayahku, itu yang kudengar saat aku mencuri dengar pembicaraan ayahku dengan teman-temannya, sssttt jangan bilang ayahku kalau aku menguping, nanti kena marah. Uh, parah sekali keadaan motor itu, kalau kalian lihat, pasti kalian berfikir motor itu lebih bagus dibawa ke penadah rongsokan karena diperbaiki pun tidak akan bisa. Ya kita lihat saja hasil kerja ayahku nanti.

"Ya rin, ada apa? Awas, jangan dekat-dekat nanti kena oli."

Ayahku beranjak dari tempatnya lalu mengelap tangannya dengan sobekan kain handuk. Dia duduk disampingku.

"Nama lengkapku siapa?"
"Karina Wigia Septiani."
"Oh, kalau nama ayah?"
Aku bertanya sambil menulis jawabannya, begitu juga dengan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya.
"Gatot Agus Santoso"
"Kalo ibu?"
"Kartini. Wah kamu sudah cepat menulisnya, benar semua tulisannya, tapi kalo nulis jangan kecil-kecil begitu tulisannya, agak diperbesar, nanti bu guru nggak bisa liat."
Aku meneliti tulisanku, kemudian tertawa kecil.

"Trus yah, ini ada nama kakak dan nama adik, aku kan nggak punya adik, kalo kakak apa aku boleh nulis nama mbak Arik?"

Ayahku diam, kemudian tertawa. Aku mengerutkan dahi, kenapa ayah tertawa? Ada yang lucu dari pertanyaanku? Apa ada yang salah?

"Jangan tulis nama mbak Arik, dia kan bukan mbak kandungmu, lalu siapa bilang kamu nggak punya adik? Kamu punya, tapi kalian belum bisa ketemu."
"Belum bisa ketemu? Kenapa?"

Sekali lagi aku mengerutkan dahi, duh apa sih maksud kata-kata pria gondrong bertato ini?.

"Hmmm.."
Ayahku tersenyum dan menghela nafas, lalu menjelaskan maksudnya padaku
"Kamu tau kenapa perut ibumu sebesar itu? Sama besarnya dengan perut emak kan?"
"Emmmm yaaa... Sama besar, emangnya kenapa? Ibu banyak makan? Jadi gendut, begitu kan?"
Oya, aku lebih akrab memanggil nenekku dengan sebutan emak, entahlah aku tidak ingat bagaimana sejarahnya aku memanggilnya begitu, mungkin aku meniru tanteku, mbak Arik, ya tanteku itu mbak Arik. Bingung ya? Ah sudahlah, mari kita dengar penjelasan ayahku.

"Hahaha."
Ayahku terbahak-bahak.
"Bukan begitu, perut ibumu besar karena ada adikmu didalamnya."
Adik? Bagaimana mungkin ada manusia di dalam tubuh manusia? Bercandaan seperti apa ini? Ah tidak mungkin.

***

Mungkin saja itu mungkin kawan, saat ini aku sedang menempelkan telingaku di perut ibuku, geli, ada yang bergerak-gerak, tau kah apa yang aku pikirkan tentang adik selama ini? Jauh sebelum aku tau dalam perut ibuku ada sesosok makhluk yang nanti aku sebut adik, oh astaga, aku kira adik itu terbuat dari kertas yang dilipat-lipat seperti origami yang biasa aku buat yang kemudian datang seorang ibu peri dan menyulapnya jadi manusia, ok, cukup, itu aneh bukan? Yang jelas, aku saat ini senang sekali, terlebih saat ibuku bilang, aku akan segera bertemu dengan adikku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 20, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PION KECILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang