6 Published Parts - Diperbaharui Mei 15, 2014 03:09sore
Ini bisa jadi pekerjaanku di Wattpad yang paling hidup. Aku udah ninggalin nonfiksi ini selama dua tahun. Alasannya dulu karena memang sudah aku anggap selesai, aku sudah lulus SMA dan sibuk dengan segala macam Ujian, dan satu lagi, aku malu dengan pikiran-pikiran emosionalku. Walaupun gitu, aku tetap memantau notifikasi yang terus ada seolah-olah ga pengen nonfiksi ini mati begitu aja. Kebanyakan yang masukin ke Reading List, ada beberapa yang ngevote dan komentar. Aku sangat berterima kasih buat orang-orang yang udah komentar. My beliebers, my homies. Chapter satu ini didedikasikan untuk Beliebers, the real one, yang masih bertahan. Kita selamat, ayo rayakan ini dengan Happy Ending kita.
Kembali ke dua tahun yang lalu waktu aku ngerasa ga punya siapa-siapa buat cerita, aku tertekan sekali. Ga ada yang bisa aku ajak bicara. Saat itu aku sedang menatap layar laptop sambil mencari nonfiksi yang bercerita tentang Justin. Bukan fanfiction. Aku sedang ga ingin berimajinasi saat itu, imajinasiku sudah penuh. Aku hanya butuh tulisan yang membuat aku merasa kalau aku ga sendirian. Dan aku ga menemukan apa-apa.
Lalu aku berpikir, mungkin ada banyak yang sedang melakukan apa yang sedang aku lakukan. Jadi aku mencoba untuk menulis Is it wrong to have Justin Bieber as my Lifesaver? Ya, tentu saja penyelamat hidup kita hanyalah Tuhan. Tapi kali ini terhubung dengan Justin. Ada banyak remaja-remaja yang sedang depresi, ingin bunuh diri, dan ingin menyakiti dirinya sendiri. Tapi ada juga banyak remaja-remaja yang berpikir ribuan kali untuk melakukan hal buruk itu dengan hanya mendengarkan lagu Justin, menonton dokumentarnya, atau semacamnya. Dia itu seperti inspirasi yang menghidupkan jiwa-jiwa manusia yang telah mati.
Ini bukan fanatik. Ini bentuk kagum kepada seseorang yang membuatku merasa lebih hidup, lebih bahagia, dan mencintai bahkan dicintai tanpa batas dan tanpa keinginan lebih.
Kembali ke berjam-jam yang lalu. Aku sedang memetik gitar, memainkan lagu Love Yourself dan ada satu momen eureka. Entahlah harus aku namai apa, mungkin bukan momen eureka tapi kalau aku sedang berada di suatu animasi, mungkin sudah ada gambar bohlam di dekat kepalaku.
Aku mengingat saat aku sedang berada di graha kampus. Sayup-sayup aku mendengar What Do You Mean?, Sorry, dan Love Yourself. Tiga lagu itu membuatku tersenyum. Tiga-tiganya menempati chart tertinggi musik dalam waktu yang bersamaan. Lagu-lagu di album Purpose yang Membuatku memikirkan teman-teman kelas 2 SMAku. Apa kabar teman-teman? Apa kalian suka lagunya? Ya, itu lagu Justin Bieber. Orang yang sama yang menyanyikan lagu Baby danyang kalian tertawakan selama ini.
Baby adalah video yang paling banyak dilihat di Youtube dan juga lebih banyak yang tidak menyukainya. Justin Bieber dan Baby pasti akan ada di satu kalimat yang sama, tidak akan jauh-jauh. Tentu saja, aku suka lagu itu tapi orang lain tidak. Mereka menyanyikannya tapi tetap menganggap Justin memiliki suara perempuan atau bahkan mengatainya anak ingusan.
Kembali disini, 2016, masih didepan layar karena belum bisa ketemu Justin secara langsung. Aku tersenyum sambil menahan tangis. Tentu saja, mereka masih akan mengingat lagu Baby tapi mereka juga akan menyenandungkan lagu-lagu di album Purpose. Ada perasaan lega saat melihat orang-orang dengan otomatis menyanyikan lagu What Do You Mean?, Sorry, dan Love Yourself seolah-olah musiknya terekam jelas di otak mereka. Ada perasaan senang saat lagu Justin tiba-tiba lebih sering menjadi backsound di TV. Ada perasaan bangga saat melihat komentar-komentar yang berkata,
"I don't even like this kid but damn this song is good"
"Who would have known that in 2016 we would all be Beliebers."
"Me and my homies made a promise that we was going to leave that hating in 2015. So with that being said I'm officially a Belieber...."
Percayalah masih ada perasaan-perasaan lain yang membuatku merasa lebih dari bangga pada Justin. Membuatku berpikir kalau aku mengidolakan orang yang tepat.
Perasaan ini bahagia, indah. Tapi juga seperti ada gumpalan aneh menyumbat di antara dadaku. Aku senang bukan main saat orang-orang mengakui musik Justin. Aku sangat suka saat tempat-tempat ramai memutar lagu Justin. Setiap kali aku mendengar lagu lama Justin, aku tiba-tiba ingin berada dihadapannya saat itu juga, mengatakan padanya kalau dia sudah berhasil sejak awal, hanya saja semuanya butuh proses. Dia hanya butuh dirinya yang asli agar diterima masyarakat, dia butuh orang-orang mendengarkan lagunya tanpa menghakiminya duluan.
Apa kalian merasakan bahagia yang sama?
Satu kata saja cukup untuk menggambarkan perasaanku sekarang.
Akhirnya.
Akhirnya.
Akhirnya.
Dan tenang saja, ini bukan ending yang sebenarnya. Masih happy, dan harus happy ending. Aku harap di chapter selanjutnya, aku sudah bisa bercerita tentang hal yang lebih nyata lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Is it wrong having Justin Bieber as my lifesaver? (Belieber non-fiction)
Non-FictionPandangan gue tentang Justin, Beliebers dan haters. "Admit it, you're just too naive to say that Justin is a man because people around you hate him. See him with my perspective and you'll see a canadian kid who just wanna live his dreams as a public...