Bila kisahku dijadikan sebuah cerita,
Maka disinilah klimaks terjadi.
Seperti dugaanku, klonku pasti yang pertama menyerang, tanpa basa basi aku maju, lalu menebas tangannya. Hal yang sama dilakukan oleh klonku sehingga kapak kami beradu.
"Re, cover me!" teriakku
Rere menembakkan anak panahnya kepada klonku. Namun diluar dugaan, klon Rere menembakkan anak panahnya juga sehingga kedua anak panah itu beradu dan patah menjadi dua.
"Ah," gumam Re.
Kemudian, semuanya maju. Indah mencoba membantuku namun klonnya segera menghadangnya dengan pisau karatan itu.
"Aku memang hebat," kata Indah tesenyum. "Kurasa..." kataku sambil menangkis tebasan klonku, "Ini bukan saatnya membanggakan diri." lanjutku.
Re dan klonnya bersembunyi di balik kursi, saling menembakkan anak panah yang diluar dugaan, banyak sekali.
Nabila dan klonnya sebaliknya hanya diam dan saling tersenyum, tapi kemudian keduanya menyeringai.
"Akan kuperlihatkan kemampuanku" gumamnya.
Lalu sambil tersenyum dia menarik kepala teddy bearnya, yang kemudian berubah menjadi senapan laras panjang.
"Senjata yang hebat, Nab," teriak Ara yang tengah sibuk menghunuskan tombaknya.
Dea yang tengah kesakitan juga tidak mau kalah, pisau bedahnya terdengar bising karna sedang beradu sengit.
Kami semua kelelahan dan klon ini belum juga terlihat lelah.
"Aku punya ide," kataku.
"Apa?" teriak Ara diujung.
Karena perhatian Ara teralihkan, ia lengah dan tombak klonnya menghunus badannya, tapi digagalkan oleh pedang yang dilempar.
"NATA!" teriak Ara, dibawah siluet bulan yang perlahan muncul dua orang sedang beradu pedang, karena pedang Nata dilempar untuk menyelamatkan Ara. Nata menggunakan satu, dia seperti seorang musketeer di atas sana
"Ayo menari," teriaknya.
Lalu dengan cepat dia menebas badan klonnya sehingga darah mengalir diatas sana.
"Bagaimana kau melakukannya?!" teriakku.
"Pedangku hanya satu, itu bukan diriku bukan?" kata Nata sambil tertawa.
Benar! Kapak diperapian tadi!
Aku menarik kapak lagi di belakang jeansku.
"Mari bermain, kawan," bisikku. Tanpa aba-aba aku berlari, menghalau tebasan klonku, menahannya, lalu kuhadapkan mukaku.
"Hei, Pergilah tidur!" bisikku sambil menyeringai, lalu kepala klonku terlepas, darahnya mengucur deras membanjiri kakikku, itulah, kalau aku mati.
"Hahaha, kini kau meniru Jeff, rupanya," kata Nata sambil tertawa.
"Hanya sebagai hiasan!" teriakku lalu segera menerjang klon Dea, karna perhatiannya teralihkan, aku tebas kakinya sehingga dia berlutut.
"Bagianmu, Dea," kataku.
"Sure," katanya tersenyum.
Dengan cepat, dia merobek leher klonnya sehingga darah keluar membasahi wajahnya.
"Hahaha..." dia tertawa.
"Hey, Nata, bantu aku!" teriak Ara. Kemudian, dengan malas, Nata melempar pedangnya.