Dia berlari melintasi ruang tengah yang sudah dilalap si jago merah. Asap tebal dan api yang nyaris menjilat wajahnya tak lagi dipedulikan. Rambut ungu gelap itu tetap gigih berkibar di tengah terangnya cahaya api.
Kemeja putih miliknya sudah tak lagi putih. Bagian atas lengannya terkena api membuat kulit si pemakai terluka bakar. Tak sedikitpun teriakan keluar dari bibirnya. Hanya rintihan. Benaknya dipenuhi ketakutan dan kecemasan akan keselamatan keluarga kecilnya.
"MARY! KARINA!"
Dia terus meneriakkan nama kedua orang yang disayanginya sambil berlari menelusuri setiap bagian rumah itu. Di dapur, ruang makan, ruang tamu, dan ruang tengah sudah diperiksa olehnya. Bahkan kamar-kamar tidur yang berjumlah puluhan sudah dicek satu persatu tanpa memedulikan gagang pintu yang terasa sangat panas karena api.
Secercah harapan muncul begitu telinganya menangkap suara seseorang dari arah gudang yang terletak di dapur. Dengan begitu semangat, dia berlari melintasi dapur, membuka pintu cokelat yang ada di pojok ruangan lalu langsung membukanya lebar-lebar.
Hal yang dia lihat di sana, membuatnya sadar akan satu hal: dia adalah anggota keluarga Wiran yang terakhir.
10 orang pelayan dan 38 anggota keluarganya tewas dalam keadaan duduk di kursi dengan tangan serta kaki yang diikat rantai. Hal itu membuatnya terkejut ditambah lagi tempat ini adalah gudang, untuk apa mereka semua berkumpul di sini?
Dia berjalan pelan mendekati setiap mayat itu. Air matanya mengalir begitu melihat ayah dan ibunya. Kedua orangtuanya itu terlihat sangat menderita dengan mulut terbuka lebar, mata membelalak, dan kepala yang mendongak. Persis seperti orang kesakitan. Begitu juga dengan Mary. Ia menatap istrinya yang didudukkan di sebelah kedua orangtuanya itu dengan hati yang tercabik-cabik. Rambut pirang wanita yang dicintainya sudah tak lebih dari serpihan abu, tubuhnya terbakar dan menghitam, hanya wajahnya yang -dengan ajaib- masih utuh. Si lelaki berambut ungu menyentuh wajah itu. Kemudian, kepalanya menunduk dan mengecup bibir wanita yang dicintainya untuk yang terakhir kali.
"Papa?"
Mata si pria langsung membulat. Dia berbalik dan melihat sebuah lemari kayu berwarna cokelat gelap. Dia membuka semua pintu lemari itu hingga pintu terakhir. Pria itu menangis begitu melihat anaknya yang masih kecil berada di dalam lemari. Wajah ketakutannya berganti senang begitu melihat ayahnya dan langsung memeluk pria itu.
"Papa!!" pekiknya. Lengan kecilnya merangkul dengan erat.
"Karina, apa yang terjadi di--"
Karina menutup bibirnya sendiri dengan jari. Menyuruh ayahnya untuk diam. "Karina gak bisa bilang di sini, Mama nyuruh Karina buat keluar dari sini sama Papa," bisiknya.
Pria yang dipanggil 'Papa' oleh Karina itu mengangguk tanda paham. Dengan hati-hati dia berjalan sambil menuntun Karina demi menghindari api yang mulai menjalar ke lantai. Kemudian dia menggendong Karina di punggungnya dan langsung berlari menuju halaman belakang rumah.
Langkahnya terhenti begitu melihat sebuah mobil jenis CRV warna merah menyala, melintas di jalan depan rumah. Kemudian mobil itu melaju keluar lewat gerbang depan dan tak terlihat lagi. Kemudian dia menurunkan Karina di tanah. Gadis itu berlari menuju salah satu pohon ketapang dan duduk di bawahnya.
"Bulan bersinar di tengah kelamnya malam, Api yang menyala-nyala bagaikan lampu penerang, aku adalah saksi dari semua ini, semua yang telah direnggut dariku." Karina berbisik dengan kepala menunduk dalam.
Kemudian Karina mengangkat kepalanya, menatap ayahnya dengan tatapan tajam dan seringai yang menakutkan. "Papa?" ucap Karina, "maukah Papa membantuku membalaskan dendam keluarga kita? Keluarga Wiran?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Black Fox (END)
ActionSalah satu pemenang the wattys 2016 dalam kategori: cerita sosial. (Underground Bullet Case:05) Wilayah Jakarta pusat gempar karena penemuan sesosok mayat gadis belia tanpa busana yang di kirimkan ke gedung DPR. Belum selesai pihak kepolisian memeca...