Erick bolak-balik memandangi ponsel dan bangunan yang sedang terbakar itu dengan keringat bercucuran. Selain karena panasnya suhu di sekitar akibat kobaran api, juga pilihan yang harus dilakukannya.
Dia harus memilih, menangkap seorang pembunuh atau menyelamatkan masa depan.
Di lain tempat, Tony sudah mendapatkan jemputannya. Sebuah mobil sedan warna hitam lengkap dengan supirnya. Pria itu melangkah masuk ke dalam mobil, kemudian sedan itu melaju kencang menjauhi hutan. Sembari melemaskan otot-otot kakinya, dia melirik bangunan yang masih terbakar dan mengambil detonator di sakunya tadi.
"Selamat tinggal, peluru kecil."
Kemudian dia menekan tombol merah itu.
*****
Ledakan yang amat keras terdengar dari lantai satu. Erick menoleh dan mendapati bahwa sebuah bom baru saja menghancurkan separuh area lantai satu, akibatnya bangunan itu mulai miring ke sebelah kiri karena ledakan menghancurkan lantai sebelah kanan.
Dalam gerakan lambat, bangunan itu runtuh. Waktu terasa bagaikan seabad bagi Erick ketika iris biru cobalt itu menjadi saksi akan hancurnya masa depan. Lebih tepat disebut masa depan anaknya.
"Roni! Elena!" Teriakannya menggaung di kedalaman hutan. Memanggil nama kedua orang yang disayanginya, salah satunya bahkan sudah dia anggap anak sendiri.
Dari kejauhan, sirene pemadam dan mobil polisi bercampur jadi satu. Tujuannya sama, sayangnya mungkin mereka sudah terlambat.
Erick mencoba berjalan mendekat, tetapi hawa panas yang teramat sangat langsung menerpa wajahnya. Membuat mata terasa meleleh dan berair seketika.
"Bodohnya aku!" Ia berteriak sembari memukul kepalanya sendiri. Dengan pandangan putus asa, Erick kembali mengamati bangunan yang masih terbakar itu. Aroma bensin berputar di sana seperti tak ada habisnya, membuat aroma menyengat yang menyesakkan dada.
Sayangnya dia belum tahu, akan ada kejutan yang telah menantinya di langit.
*****
"Subarashii!"
Eko menelengkan kepalanya pada Rinka yang sibuk membaca sebuah buku. Rambut cokelat gelapnya berkibar penuh semangat ketika kepalanya mengangguk-angguk.
Eko mengambil buku yang tengah dibaca Rinka, gadis itu langsung mendelik marah.
"Apanya yang 'subarasi'? Bahasa planet mana tuh?" tanya Eko.
BUAAK!
"Sakiiiittt!" pekik Eko, seraya mengusap kepalanya yang dihantam Rinka.
"Dasar bodoh! Itu bahasa Jepang, masa' kamu gak tau?"
Rinka balas berteriak."Kukira bahasa mars, aduh!" Eko berteriak lagi saat hantaman kedua diterima pucuk kepalanya. Ia langsung lari terbirit-birit dari lantai satu markas UB. Bisa dimaklumi, jika Rinka marah gadis itu bisa saja merubah diri menjadi ular anakonda.
Rinka menaruh bukunya seraya mendengus kesal. Diliriknya Budi yang duduk di sisi lain sofa, wajahnya terlihat tegang dengan beberapa bulir keringat menghiasi kening.
"Ada apa denganmu?" tanya Rinka, "kelihatannya ada yang tidak beres."
Budi menjawab tanpa menoleh sedikitpun. "Roni dan Elena tak bisa kuhubungi." Jeda sejenak, kemudian dia menambahkan, "mereka ikut dengan Erick, untuk menangkap Tony."
"Antony Wiran, kan?"
"Kau pikir siapa lagi?" Budi balas bertanya. "Rubah licik satu itu punya masalalu yang bisa dibilang, menyakitkan," tambahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Black Fox (END)
ActionSalah satu pemenang the wattys 2016 dalam kategori: cerita sosial. (Underground Bullet Case:05) Wilayah Jakarta pusat gempar karena penemuan sesosok mayat gadis belia tanpa busana yang di kirimkan ke gedung DPR. Belum selesai pihak kepolisian memeca...