Part 4: Two Choice

3K 349 72
                                    

James berdiri tegap di depan Antariksa. Pria itu menggoyang-goyangkan kakinya dengan santai, seolah tak terjadi apa-apa. Roy dan Andi masih duduk di sofa dengan wajah cemas. Sedangkan Erick sibuk meneliti robot-robot itu.

"Pak Presiden, saya serius." ujar James. "Jika anda tidak menjelaskan semua ini, saya akan menarik diri dari kasus." ancamnya.

Antariksa yang semula tenang, menatap James yang -wajahnya sudah seperti gunung krakatau hendak meletus- kemudian dia tertawa terbahak-bahak membuat Erick meneguk ludah. Dia teringat akan kemarahan James yang berhasil meluluhlantakkan seisi ruangan divisi kejahatan berat beberapa bulan yang lalu. Terakhir kali inspektur berumur setengah abad itu marah, mereka harus mengikatnya dengan rantai dan menidurkan pria itu dengan suntikan chloroform. Rasanya seperti mau menyegel seekor cerberus.

Antariksa mengangkat tangannya di depan dada. Jari-jari itu membentuk simbol perdamaian. "Maaf pak inspektur, saya hanya bercanda." ujarnya.

James menunjuk robot-robot berjubah hitam itu. "Jadi kau sudah tahu semua ini?!"

Antariksa mengangguk. "Merekalah alasan kenapa saya tertawa keras saat kalian pertama kali datang kesini."

Erick di sisi lain sofa menghela napas panjang. Dia kembali memusatkan perhatian pada robot-robot di hadapannya. Dari bentuknya, ini jelas robot rakitan sendiri. Hebatnya robot ini bisa bergerak. Dari alat pemancar yang dipasang di punggung si robot, Erick sangat yakin kalau para bullet mengendalikan semua robot ini dari tempat lain.

Dan jarak mereka pasti tidak jauh dari sini.

*****

Pupil mata Budi langsung berkilat bagaikan api begitu melihat Emily. Terutama saat tahu kalau gadis itu membawa sekotak kue brownis, membuat Budi sangat ingin menerkamnya. Sedangkan Emily merasa keringat dinginnya mengalir deras saat menyadari bahwa Budi menatapnya bagaikan hewan buruan.

Tanpa peringatan, Budi langsung menerkam Emily. Mengurung gadis itu dalam pelukannya. Membuat yang lain hanya bisa geleng-geleng kepala. Tentu saja mereka paham. Bagi Budi yang sudah lama tak memiliki partner, kehadiran Emily sebagai partnernya bagaikan mendapat undangan tur ke London selama dua minggu dengan biaya ditanggung pemenang eh... Pemerintah.

"Bagaimana kondisi di sana, Roni?" tanya Ren.

Roni melepaskan pandangannya dari teropong. "Mereka terlihat sibuk berbicara entah soal apa." lapornya.

"Kalau begitu, kita pakai saja alat yang kupasang pada robot-robot itu."

Semuanya langsung menatap Eko yang tiba-tiba berbicara. Sedangkan dia sendiri justru nyengir lebar hingga menampakkan gigi-giginya.

"Sebenarnya aku memasang sebuah alat pada robot itu." ucapnya.

"Alat apa memangnya?" tanya Ren.

"Alat penyadap."

*****

Antariksa menepuk bahu James seolah mereka adalah teman lama. Orang nomor satu di Indonesia itu berkelakuan seperti anak muda saja, padahal umurnya sudah 40 tahun.

"Begini, mereka bukannya tidak mau datang. Tetapi mereka diwakilkan oleh robot-robot ini." jelas Antariksa.

James menghela napas. Wajahnya sudah tidak terlihat marah lagi. "Baik, aku paham. Tapi kenapa harus pakai robot?"

WUAA!!

Antariksa dan James menoleh bersamaan saat mendengar teriakan Erick. Pria itu melompat nyaris dua meter dari tempat dia berdiri tadi.

"Ada apa?" tanya James.

Erick menunjuk robot yang ada di depannya. "Salah satu dari mereka menggerakkan tangannya."

Benar saja, tiba-tiba semua robot berdiri dari sofa tempat mereka duduk. Kaki-kaki dari logam aluminium bercampur besi itu mendadak menghentakkan kaki secara bersamaan. Kepala mereka menoleh pada Antariksa, membuat lelaki tersebut bergidik. Lalu, suara seseorang keluar dari salah satu robot.

"Halo, pak Presiden. Halo juga para polisi."

James membelalakkan mata untuk yang kesekian kalinya. Andi dan Roy langsung berjalan menghampiri Erick. Suara dari robot-robot itu seperti bukan suara yang berasal dadi manusia.

"Kau pasti salah satu dari para peluru." sahut Erick.

Suara itu terkekeh senang. Lalu kembali bicara,

"Pak Presiden, kami paham keinginan anda untuk menyatukan kami para peluru dengan kepolisian. Ide bagus sebetulnya, tapi sekarang bukanlah waktu yang tepat."

James berjalan cepat. Langkahnya menghentak lantai hingga suaranya terdengar berdebum bak gempa bumi. Tangannya terulur dan mencengkeram kerah mantel hitam dari si robot yang berbicara.

"Apa mau kalian?! Korban semakin bertambah dan si rubah masih berkeliaran di kota ini! Bukan hanya itu, nyawa presiden-pun sedang terancam!" raungnya.

Keadaan langsung hening total. Erick mengepalkan tangan, mencoba menahan dirinya untuk tidak menghantam rahang James dengan tinjunya. Dia paham bosnya satu itu orangnya memang emosian, tapi saat ini dia sudah keterlaluan.

Di sisi lain, Andi dan Roy diam mematung. Mereka memang sudah pernah melihat James mengamuk. Tapi melihat kejadian itu untuk yang kedua kalinya terasa seperti mengalami perang Vietnam periode kedua.

"Bisakah anda dengarkan perkataan saya tadi baik-baik? Maksud saya adalah untuk sekarang bukan? Tidak menutup kemungkinan kalau kami akan bergabung dengan kepolisian dalam unit khusus. Bukan tidak mungkin juga jika suatu saat nanti kalian akan mengetahui identitas kami." ucap suara itu, tiba-tiba.

James melepaskan cengkeraman tangannya pada robot itu. Kemudian dia duduk di sofa, walau tatapannya masih tertuju pada benda itu.

"Jadi, bagaimana kita akan memecahkan kasus ini? Kami tak punya satupun bukti dan saksi mata." katanya dengan nada pasrah.

"Kalian mau tahu bagaimana caranya?" tanya suara itu.

Erick menganggukkan kepala walau yakin si suara tadi tidak tahu kalau dia mengangguk. Begitu juga Andi dan Roy.

"Kalau begitu, beritahu kami." sahut Antariksa.

Terdengar beberapa suara bising sebelum akhirnya suara itu menjawab,

"Kami menyediakan dua pilihan. Satu, mengawasi seluruh anggota DPR selama satu minggu ini. Yang kedua, menggunakan seseorang untuk dijadikan umpan."

Ruangan itu menjadi hening lagi. Semua orang kembali berkutat pada pikiran masing-masing. Semilir angin yang berhembus dari pintu cokelat yang sedikit terbuka menambah atmosfir akan keheningan. Hingga suara itu sendiri yang membuka percakapan,

"Nah, kalian mau pilih yang mana?"

*****

Semilir angin menyapu pepohonan, membuat daun beterbangan dan jatuh dengan indahnya. Gemericik air dari sungai yang mengalir, burung-burung gereja yang beterbangan dan sesekali hinggap di dahan, semakin menambah keindahan taman kota Jakarta.

Sayang, keindahan itu telah dirusak oleh si rubah hitam.

*****

To Be Continued....

Haleoo!

Tak terasa ABF (A Black Fox) sudah sampai part 5! *tebar bunga*
Oh iya, menurut kalian (para pembaca) apa kesan kalian saat membaca cerita ini? Pasangan partner yang paling kalian suka itu siapa?

-Roni & Elena
-Eko & Rinka
-Ren & Kirana
-Budi & Emily

Pilihannya di atas ya! *kayak mau jualan aja* /harhar ditembak/

See you guys at the next part!

A Black Fox (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang