"Glori?" Aku berbalik untuk melihat siapa yang memanggil namaku.
Ada Raga yang berdiri dengan wajah sulit terbaca. Dia sangat rapi dengan setelan mahalnya.
"Apa kabar?" Lanjutnya mendekat kearahku. Aku yang berdiri di depan toko kopi hanya bisa tersenyum lemas.
Bertemu dengannya setelah enam tahun bukanlah hal yang menyenangkan. Banyak kenangan manis dan pahit yang sudah kita berdua lalui sejak kita bisa berjalan.
"Seperti yang kamu lihat, sangat baik. Kamu gimana?" Aku tahu kita berdua tidak pernah merasa baik setelah kejadian Itu. Sebuah kejadian yang mengubah nasib kita berdua untuk selamanya.
"Aku baik, Ri." Raga memberi senyum manisnya. Dia selalu bangga dengan senyumannya yang selalu melelehkan setiap hati para gadis.
"Kita cari tempat duduk. Btw, kamu nggak lagi buru-buru Kan?"
"Aku punya waktu setengah jam." Aku mengikuti Raga dari belakang. Dia mengambil tempat di sudut namun masih terlihat oleh orang Banyak, mencegah terjadinya kesalahpahaman.
"Kamu kelihatan berbeda." Aku tahu maksud dibalik ucapannya. Dulu aku selalu memotong rambutku pendek dan tampil tomboy. Sekarang rambutku panjang dan diberi warna. Jeans dan kaos oblong yang selalu menemaniku kemana pun aku pergi. Tapi Sekarang aku memakai gaun yang sedikit terbuka, memperlihatkan kaki jenjangku dan bagian leher berpotongan rendah, sedikit menunjukkan payudaraku.
"Kamu juga semakin beda." Raga terlahir dengan sempurna. Sejak dulu dia selalu tampan dengan tubuh yang menunjang dan dengan style yang selalu stylish, Raga selalu menjadi sorotan semua orang disekitarnya.
"Kita berdua berubah banyak." Aku selalu berharap mengalami setiap perubahan hidup bersama Raga. Tapi Itu Dulu.
"Banyak hal yang berubah, untuk kita berdua." Katanya sembari terkekeh. Aku tahu dia terluka dengan pertemuan kita saat ini.
"Kamu menikah." Dan aku masih tidak bisa melupkanmu - sebagai sahabat.
"Karena hidup terus bergerak. Kita tidak bisa selalu menunggu yang tidak pasti." Timpalku tersenyum palsu.
"Benar, aku harus bergerak. Aku tidak bisa menunggumu terus." Raga menutup kedua pasang matanya sebentar lalu membuka kembali. "Benarkan?"
"Raga, aku mulai terbiasa dengan suamiku dan sekarang aku hamil."
"Aku tahu." Dia tersenyum sebentar. "Kamu cinta dengan Reza." Kekehnya mencoba membuat suasana yang tegang diantara kita mencair. "Sejak dulu ... Sebelum aku menyadari perasaanku padamu."
Kedua telapak tanganku gemetar mendengar setiap penuturannya yang membuatku membisu. Aku tidak bisa membohongi perasaanku pada Reza Ardian, aku memang mengaguminya Sebelum hubunganku dengan Raga berantakan.
"Aku tidak terlalu terkejut saat Reza memberiku undangan pernikahan kalian yang mendadak."
Aku dan Raga tumbuh bersama sejak kecil. Kita berdua melakukan Banyak hal bersama dalam hidup ini, sampai aku memiliki perasaan aneh padanya.
"Dan kamu lebih memilih tidak datang pada pernikahanku." Aku tersenyum mencoba menggodanya. "Apa amerika lebih menggoda dari pada datang ke pernikahan sahabat dan temanmu sendiri?"
Raga tertawa pelan. "Aku sakit hati."
Aku tidak pernah memberitahu perasaanku pada siapapun termasuk Raga sendiri. Sampai Reza datang kedalam hidupku dan semuanya berubah.
"Semua usaha terakhirku tidak Ada artinya." Raga mencoba menenangkan kembali tubuhnya yang gemetar Karena tawanya yang begitu puas.
Aku selalu ingat.
Satu hari Sebelum acara pernikahanku. Raga datang kerumahku dan memberitahu semua perasaannya selama ini padaku. Dia memintaku untuk membatalkan pernikahanku dengan Reza. Tapi Itu terlambat.
Meski aku dan Reza menikah Karena perjodohan. Aku tidak menolak atau membantah, aku memang mencintainya. Jauh sebelum perasaanku timbul pada Raga.
"Karena aku tidak bisa melukai perasaan semua orang."
"Dan perasaanku terluka sampai Sekarang, lho." Ujarnya santai.
"Aku minta maaf?"
"Sebenarnya tidak Ada yang perlu meminta maaf, aku tidak bisa menyalahkan semua orang yang menyebabkan perasaanku sakit." Raga kembali tersenyum. Tapi Itu senyum yang membuat hatiku senang. "Aku tidak bisa memaksakan perasaanku padamu."
Aku merasa ponselku bergetar didalam tas kecilku. Reza sudah menungguku di kantornya.
"Aku harus segera pergi, Reza sudah menunggu." Aku berdiri segera. "Senang bertemu denganmu lagi."
Raga mengikutiku dari belakang. "Aku lebih senang sudah melihatmu bahagia dan perasaanku tidak sesakit Dulu." Ujarnya tenang.
"Kita harus sering bertemu untuk memulai persahabatan baru kita." Saranku.
"Tentu." Raga tersenyum saat aku masuk kedalam Taxi. "Selamat tinggal untuk masa lalu."
P.s; Pokoknya disini Glori dan Raga tuh sahabatan sejak kecil. Glori nyadar dia suka sama Raga Tapi rasa suka nya lebih besar pada Reza. Jadi gitu lah... wkwkwk