Act Like You Know Me [5]

6 1 1
                                    

Day 5

Hai Kenan....
Ini hari keduaku bertemu dengan yang 'katanya' temanmu. Ku pikir dulu ia adalah orang yang sifatnya melebihi sampah. Tapi setelah cukup mengenalnya. Dan mengenal diriku sendiri. Kenan, akulah yang sampah.

Hari ini aku menyuruhnya menginap di rumahku. Hujan di sini masih deras. Bahkan hari sudah larut masih saja deras.

Tadinya aku ingin meminjamkan bajuku saja kepadanya. Tapi ku pikir, masih banyak baju peninggalan ayahku yang tidak terpakai lagi. Jadi ku pinjamkan saja untuknya.

Oh, Kenan!
Dia mirip sekali dengan ayahku. Yah, walaupun aku hanya mengingat wajah ayahku dari bingkai foto yang ku genggam saat ini.

I'll Found You...

------------------------------

"Non, di panggil temannya"

Bi minah datang ke kamarku.

"Bikinin susu yah bi. Dua."

"Baik non"

Huft Kenan. Aku frustasi mencari mu....

Dan akupun turun kebawah untuk bertemu dengan Age. Di pertengahan tangga aku terhenti sebentar. Aku melihat Age menatap jauh di jendela rumahku. Kosong. Hanya berdiri menatap hujan. Lalu ku lanjutkan saja perjalananku. Dan aku terhenti tepat di belakang Age.

"What you see?"

Age terlihat kaget saat mengetahui aku sudah ada di belakangnya.

"Nothing. Eh, Gimana nih gue pulangnya? Deras banget"

"Dibilangin nginep aja. Banyak kamar kosong. Lagipula besok libur"

"Oke. Eh, menurut lo, hujan itu gimana?"

Age kembali melihat jendela rumahku setelah menatap mataku.

"Buruk"

Yang ku jawab hanya itu.

"Ha? Hujan itu baik tau. Seseorang pernah bilang sama gue, 'hujan itu anugerah terindah yang dikasih Tuhan. Ga ada alasan khusus untuk menghinanya' sama kaya lo, lo itu seperti hujan. Ga ada alasan khusus untuk menghinanya"

Aku menatap wajah separuh itu lagi. Tidak ada senyuman. Sepertinya dia serius.

"Cara. Lebih baik menikmati daripada mengeluh. Dan nikmatilah masa pencarian itu. Kenan selalu ada di sisi lo"

Age kembali melanjutkan bicaranya.

"Udalah Ge. Mau makan apa? Laper kan? Delivery Order aja"

"Masak aja"

"Gue ga bisa masak"

"Dapur lo dimana? Lo disini aja. Gue yg masak"

"Kalo mau makanan rumah, bilang bi minah aja"

"Masak nasi goreng doang ko. Lagian, perempuan ko ga bisa masak"

"Penghinaan level 3 Tapi funny 4"

"Apa sih maksud lo, ga ngerti ahh"

Age pergi menuju dapur. Aku hanya memperhatikannya sambil duduk di meja makan yang tak jauh dari dapur. Sesekali Age melihatku. Memberikan jempol kepadaku. Mungkin artinya, semua akan baik baik saja. Dan akhirnya makanan itu selesai.

"Tadaaaaa!!!"

Aga menaruhkan makanannya didepan meja makanku.

"Cobain deh, enak ga?"

Akupun memakan makanannya itu. Rasanya seperti aku pernah memakan ini sebelumnya. Rasanya menakjubkan. Enak sekali.

Setelah makan aku menunjukan tempat rahasiaku di dalam rumah ini. Ruangan bawah tanah.

Age cukup terkejut melihat apa isi dari ruangan itu. Mulutnya terbuka sedikit dengan matanya celingak celinguk.

"Ini... rumah... apa.... istana.... gila...."

Saat berbicara itu dia masih celingak celinguk. Dan kaget.

"Salah dua duanya. Ini ruang bawah tanah"

"Ruangan ini istana banget gila. Ada buku berak-rak. Ps. Game room. Komputer. Musik room. Kolam ikan. Tv. Soffa santai. Gilaaaa, mau gue seumur hidup di sini!"

"Hahaha"

"Tapi... kenapa cuma warna hitam? Meja. Kursi. Atap. Lantai. Kecuali lampu itu...?"

"Karena diantara semua keramaian ini gue kosong. Kosong=hitam. Tidak ada apa apa, dan gelap"

"Kan ada gue sekarang"

Age menatap mataku dalam

"Tapi dulu ga ada lo"

Hening sebentar. Kita berdua duduk di sofa kesayangan ku. Hitam dengan bantal sedikit putih. Aku bersandar di pundak Age dan menatap kosong. Lalu age sendiri.... dia mesih terkesima atas ruangan ini. Tadinya aku berniat membuka pembicaraan ini. Tapi terdahulu oleh nya.

"Cara. Lo tau... setelah gue kenal lo lebih jauh. Beban di pundak lo lebih banyak dari yang gue pikirin. Lo patah hati kan sama semuanya? Lo cape sama hidup lo sendiri. Lo ga tau lo siapa. Lo ga tau lo hidup untuk apa. Lo benci lo hidup. Lo... bahkan lo pernah berfikir mati. Tapi akhirnya nggak. Lo lebih suka menikmati dan menerimanya. Itu emang pemikiran yang stabil. Tapi.... semakin lo menikmati. Semakin lo patah hati. Jatuh. Dan--"

"Ga usah di terusin"

Aku memotong pembicaraannya.

"Kenapa? Bukanya itu kenyataan? Kenyataan yang paling menyakitkan yang pernah gue tau. Biarin gue lanjutin oke?"

"Ge, Tuhan ga akan kirim orang gagal. Kalo lo bilang gue depresi. Atau temen temen nya. Itu dulu! Sekarang hati gue udah terlanjur beku. Semua itu bener. Tapi itu dulu! Dulu! Cukup. Sekarang gue udah nemuin siapa gue sebenernya. Takdir gue emang emang harus sendiri. Tersingkir. Terbuang. Dan tubuh gue udah adaptasi sama itu"

"Cara. Manusia itu makhluk sosial"

"Terkecuali gue"

"Lo ga bisa apa apa tanpa orang lain"

"Bisa. Buktinya gue masih bisa hidup sampe sekarang"

"Hati lo masih bisa cair. Kutub utara aja bisa cair"

"Gue bukan es"

"Cara. Bangkit sekali lagi. Percaya sama gue"

Tadinya aku menanggapi Age tanpa berpikir panjang. Hanya apa yang ada di kepalaku saat itu, ku ucapkan detik itu juga dengan santai.

Tapi itu cukup. Aku tidak bisa menahan ini lebih lama. Aku bangkit perlahan dari tempat duduku. Dan meneriakinya.

"CUKUP! APA? GUE HARUS PERCAYA SAMA LO? KENAPA GUE HARUS PERCAYA SAMA LO? HA? KENAPA? LO BILANG ITU KARENA LO GA TAU RASANYA TERBUANG! LO GA TAU RASANYA SAKIT! SAKIT! DAN CUMA SAKIT SETIAP HARI. HIDUP LO GA PUNYA WARNA! HIDUP LO CUMA HITAM! GA ADA BIRU, HIJAU, PINK, MERAH! CUMA HITAM! DAN HITAM! LO KALO GA TAU APA APA. GA USAH NGOMONG APA APA! NGERTI!?"

Aku mendorong tubuhnya cukup kencang. Menatap matanya. Dan duduk kembali disampingnya.

"Cara..."

Itu kata terakhir yang aku dengar. Aku tak tau. Saat itu juga aku sudah tertidur.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 31, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

InadaptabilityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang