"Ma," suara Tara pelan. Matanya terkunci pada Luna yang nyaris menangis. "Usia aku genap 21 sekarang. Kalau boleh, Ma.."
"Iya, Mama tau," potong Luna. "Kamu mau ketemu Papa kamu, kan?"
"Aku gak maksa, Ma. Kalau emang," Tara menelan ludahnya, "Mama enggak tahu Papa di mana, aku paham, Ma."
Luna nyaris menangis. Bayang Adil menari cepat di kepalanya. Rindunya pad Adil tak pernah surut. Malah kian menggila dari hari kemari. Dan sekarang, 21 tahun setelah ia resmi mengandung bayi dari seorang Adil Adibrata, lebih dari 7000 hari berlalu, anak itu sekarang meminta haknya. Menganal ayah kandungnya.
"Mama bakal ngizinin kamu kenal dia. Tapi, Mama mau minta satu permintaan."
"Apa?" tanya Tara penasaran.
"Kamu enggak usah kasih tau kamu siapa."
"Maksud Mama?"
"Cukup kamu yang kenal dia, dia enggak perlu kenal kamu."
Tara terbelalak, "Ma, aku nunggu saat ini 21 tahun dan aku bahkan enggak bisa manggil dia 'papa'?" Klise. Tapi, kalau seumur hidup melihat teman-temannya memanggil papa, bapak atau apalah itu, bukannya jiwa seorang anak Tara juga akan berontak--memintanya melakukan hal yang sama? Memanggil Papa pada seorang laki-laki yang lebih tua? Diajarkan menyetir--meski Tara sebenarnya tidak suka konsep kendaraan bermotor, memancing bersama, foto bersama saat wisuda--yang sebenarnya sudah berlalu empat bulan lalu, hadir di pernikahannya dan hal-hal semacam itu.
"Itu syarat dari Mama," cetus Luna tegas. "Terserah kamu mau matuhin atau enggak."
"Emang kenapa, sih, Ma?"
"Dia punya keluarga, Tara. Dia punya anak, istri. Dan kamu kira dia bakal senang kalau kamu muncul? Kalaupun dia senang, kami kira keluarga senang? Tara, grow up. Tolong ngertilah. Situasi ini enggak mendukung. Kita harus sadar posisi kita. Yang enggak menguntungkan di sini itu posisi kita. Membiarkan dia tau siapa kamu sebenarnya cuma bakal memperkeruh suasana."
"Oke," ujar Tara akhirnya. "Aku setuju. At least, aku akan kenal dia kayak apa."
"Good," ujar Luna sambil lanjut memasak. Sejak hamil, Luna belajar memasak, supaya pengeluarannya tidak terlalu besar karena dia harus menanggung sendiri biaya kehidupannya termasuk tabungan pendidikan dan kesehatan anaknya kelak. Dan yang paling dekat saat itu adalah biaya melahirkan.
"Abis makan, Mama kasih alamatnya, ya, Tar. Kamu mandi, gih."
***
Luna mencium dahi anak lelakinya itu dengan lembut. 21. 21 tahun hidupnya dibayangi oleh Adil. 21 tahun ia menatap cincin pemberian Adil yang masih melingkar cantik di jari manis tangan kirinya. Dan 21 tahun sejak berusaha menutupi Adil dari Tara, akhirnya, anaknya itu mendapat haknya: mengenal Ayah yang tidak perlu mengenalnya.
Luna memberikan selembar kertas yang baru ditulisnya semalam. Sebuah alamat yang baru didapatnya seminggu lalu: Alamat Stella.
"Ini alamat tante Stella," ujar Luna saat memberikan kertas itu pada Tara, "dia teman mama. Dia yang bakal ngenalin kamu ke Papa kamu. Mama enggak tau caranya, tapi tante Stella udah janji."
"Teman Mama?" tanya Tara bingung. Seumur hidup, ia tak pernah mendengar nama 'Stella' sebelumnya.
"Kamu gak kenal, udah," ujar Luna sambil nyengir. "Dia baru pulang keliling Asia-Amerika, nemenin suaminya tugas. Kamu nyebut nama kamu aja dia udah kenal. Oke?"
Tara mengangguk, dia memeluk Ibunya, erat. Wangi Ibunya menguar dari katun yang melekat pada kulit wanita itu. Lembut tapi yakin, ia berkata, "Tara sayang Mama."
****
Tante Stella yang baru dikenalnya ternyata luar biasa baik dan ramah. Perempuan bermata sedikit sipit itu adalah ibu dari dua orang anak yang keduanya kuliah di Amerika.
"Bentar, ya, Tara. Tante beres-beres dulu. Tante baru nyampe kan dari Amerika seminggu. Empat tahun terakhir tinggal di Cincinnati jadi rada ribet kalau pulang gini."
Tara hanya nyengir. Sesekali, ia membantu memindahkan buku ke rak atau memasukkan koran bekas ke kardus. Jam menunjukkan pukul delapan malam saat Stella keluar dari kamar mandi dengan rapi. Blouse merah muda dan celana jeans--fancy enough untuk seorang perempuan di akhir 40 tahun. Dengan mobil yang disupiri oleh seorang pria paruh baya--supir pribadi, katanya--mobil itu berjalan dengan kecepatan 30km perjam.
Berbeda dengan di rumah tadi, Stella tidak lagi membahas tentang hal-hal semi enggak penting tapi ringan. Kini, topik pembicaraan berpindah ke Tara. Dan itu sedikit membuat Tara tidak nyaman.
"Gimana kerja kamu?" tanya tante Stella, lembut.
"Fine," sahut Tara. "Beda sama kampus but still fine."
"Kamu yakin, Tar?" tanya Stella di saat mobil masih melaju. "Luna--maksud tante, mama kamu-- udah cerita syarat yang dia kasih. Kamu enggak boleh ketemu Papa kamu. Cuma liat rumahnya. Untung-untung kalau dia keluar atau gimana."
Tara menoleh ke kiri dan kanan, meski kegugupan mengguncang dadanya, dengan panik ia mencoba bercanda, "kan aku gak mungkin loncat dari mobil ini.."
Mendengar kelakar Tara, Stella spontan tertawa, "kamu persis mama kamu, ya. Suka bercanda."
Pembicaraan mereka sedikit mencair setelah itu, tapi, apa yang diliat Tara sehabis itu sukses membekukan seluruh darahnya: Taman Palem Merah. Sebuah nama kompleks perumahan tercetak dalam sebuah gapura di pintu depan kompleks. Dia ingat gapura itu. Gapura yang sama saat dengan gapura yang dilihatnya saat ia turun dari angkot waktu itu. Gapura tempat ia berawal berjalan sampai ia sampai di rumah Dera.
Jadi.. ayahnya.. bertetangga dengan keluarga Dera? Apa mereka saling mengenal? Atau mereka tipikal keluarga zaman sekarang yang bahkan sudah tidak mengenal tetangganya sama sekali meski rumah itu benar-benar bersebalan.
Belum cukup sampai di situ, keterkejutan dan aneka spekulasi yang Tara buat benar-benar membuat jiwanya nyaris terlepas dari raganya. Mobil itu berhenti. Di sebuah rumah mewah yang ia hapal betul meski cuma satu kali ia singgahi untuk sebuah makan siang sederhana.
Rumah itu.. rumah Dera.
"Ini rumah papa kamu, Tar. Tante udah cek kemarin, mereka belum pindah."
"Mereka?" suara Tara menggantung. "Papa dan keluarganya?"
Lemah, Stella mengangguk.
"Dia punya satu anak laki-laki yang seumur kamu. Kalau kalian saling kenal, mungkin kalian sudah jadi teman baik, Tar."
Tara menatap Stella, berusaha mencari kekuatan, tapi yang ditemukan adalah jiwanya yang berceceran. Bagaimana bisa Ayahnya tinggal di rumah Dera? Dera-nya?
"Tante," suara Tara tersekat, "aku.."
"Kenapa, Tara? Kamu mau kita pergi?"
Tara menggeleng sekuat tenaga.
"Aku.." Tara nyaris menangis saat akhirnya suara sampai di ujung pertanyaan, "aku bukan keturunan Adibrata, kan?"
Pandangan mata Stella sontak berubah. Bukan lagi diisi ketakutan, usaha untuk memberi kekuatan atau apapun. Yang tertinggal hanya.. keterkejutan.
"Kamu kenal Adibrata?"
Bagaimana cara Tara menjawabnya? Apa Tara perlu menyebut nama Adera Mahesa, perempuan cantik yang selalu enggan memakai kata Adibrata di namanya itu karena konon itu akan mengubah pandanga orang terhadapnya? Apa perlu Stella tau kalau Adera Mahesa--tanpa Adibrata, adalah orang kedua yang namanya tercatat di skripsinya setelah nama Ibunya?
"Tara!" pekik Stella, panik. "Kamu kenal Adibrata dari mana?"
"Dera..," suara Tara serak. "Aku pacaran sama dia."
"Dera?" Stella tidak mengerti.
"Adera Mahesa Adibrata."
KAMU SEDANG MEMBACA
[3/3] It's tomorrow
ChickLit"Your past is always your past. Even if you forget it, it remembers you." ― Sarah Dessen