Epilog

10.5K 1K 141
                                    


Tara menatap berkas-berkas kasus di depannya ini. Kepalanya nyaris pecah dan dia bahkan sudah menghabiskan dua gelas amerikano dan ini baru jam sembilan malam. Astaga. Dia tak pernah meneguk kafein sebanyak itu. Tara jadi memikirkan kembali tawaran Adil untuk pengambilan saham yang sudah dijadikan haknya: 15 persen: sama besar dengan hak yang dimiliki saudara laki-lakinya yang hanya beda dua minggu itu, Saka.

Iya. Tara sudah mulai membuka pikirannya untuk menerima Saka sebagai saudara. Juga Marsha. Tapi, sejak awal yang paling sulit memang Adera. Bagaimana cara Tara memandang perempuan yang pernah ia cumbu dengan cara berbeda? Bagaimana mengubah perasaan sayang lawan jenis menjadi sayang saudara? Teorinya, sih gampang. Ekspetasinya juga mudah. Dia kira, waktu akan merelakan dia merubah perasaannya pada Dera. Tapi, kenyataannya.. sulit. Apalagi Dera tidak pernah kelihatan dengan lelaki lain setelah dirinya. Dera bahkan tampak belum siap menerima kenyataan.

Tara menyerah. Mungkin ia harus mengambil sedikit istirahat mengingat ia sudah mendalami kasus ini lebih dari lima jam.

Tara meraih ponselnya, memasang alarm yang harusnya berdering dalam 60 menit. Dan meski tubuhnya sudah mengkonsumsi kafein sampai nyaris dua gelas--karena ada sedikit sisa kopi di dasar gelas yang enggan ia teguk, ia menemukan dirinya terlelap dengan cepat.

****

Lima bulan setelah hari penghakiman yang dipimpin Cintia waktu itu, keluarga besar Adibrata berkumpul di rumah Zahra, merayakan ulang tahun ke-17 putri sulung Zahra: Nova. Rumah itu dihias meriah dengan motif dominan floral--favorit Nova, kalau menurut Marsha yang superdekat dengan Nova.

Dari seluruh orang dalam klan adibrata, yang jelas-jelas memperlihatkan ketidaksukaannya adalah Zahra. Wajar, mengingat dia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat kakaknya itu berselingkuh dengan Luna. Kalau ada di posisi Zahra, siapa yang bisa menerima anak dari hubungan yang tidak ia inginkan itu? Tapi, di sinilah Zahra. Mencium kiri dan kanan pipi Tara dengan fasih seolah mereka melakukannya sejak kecil--seperti yang Zahra lakukan pada Saka dan adik-adiknya.

Luna tidak datang. Ia sadar diri. Batas toleransi yang diberikan klan Adibrata, khususnya Zahra, adalah kepada Tara. Bukan dirinya. Meski Zahra sedikit banyak sudah bisa menerima Tara, menerima Luna adalah hal yang berbeda. Jadi, daripada menimbulkan kecanggungan yang menyebalkan apalagi sampai berbuntut momen memalukan (diusir, misalnya) yang ujung-ujungnya cuma bakal bikin Tara kesal dan muncullah perang dunia keempat, maka Luna memilih absen dari ultah ketujuh belas Nova dengan alasan ada urusan. Padahal, dia cuma jalan-jalan ke Bogor bersama Stella.

Hubungan Tara dengan keluarganya membaik. Hasil dari 'sidang' yang dipimpin oleh Cintia waktu itu menghasilkan:

1. Tara adalah anak Adil. Sah dan resmi di mata seluruh Klan Adibrata, meski nama Adil tidak ada di akta kelahiran anak itu. Tidak ada yang boleh mempertanyakan, mendebat atau melempar sindiran.

2. Tara berhak atas lima belas persen saham Adibrata dari total lima puluh persen yang dimiliki Adil karena lima puluh persen sisanya milih Zahra dan Cintia. Saham yang dimiliki Tara sama dengan yang didapat Saka sementara kedua saudari perempuannya masing-masing mendapat dua pertiga dari yang dimiliki Tara. Sama seperti keluarga patriarki pada umumnya: hak laki-laki memang lebih besar dari perempuan.

3. Tara mendapat hak kunjung tidak terbatas pada Adil. Sama seperti Saka. Tidak ada diskriminasi atau perlakuan berbeda.

4. Tara bisa menginap di rumah utama (rumah yang ditempati Adil) kapan saja dia mau. Bahkan disediakan sebuah kamar untuknya yang sampai lima bulan ini pun belum pernah ditengoknya bahkan sekalipun.

5. Tidak ada perceraian. Keluarga Adil tetap utuh.

6. baik Marsha-Adera-Saka maupun Tara harus saling membiasakan diri akan kehadiran satu sama lain

Sementara itu, hasil keputusan yang secara tidak langsung terucap adalah:

1. Luna harus jaga jarak dari Adil karena orang bodohpun tau kalau lelaki itu masih mendamba Luna, bahkan lebih besar daripada 20 tahun lalu.

2. Sama seperti yang dilakukan Luna, Tara harus menghapus jarak dan pelan-pelan mencairkan es di antara dirinya dengan Dera. Tapi, Tara juga harus memastikan kalau Dera dan dirinya tak terlibat cinta terlarang seperti Adil dan Luna.

Hasil keputusan itu, lambat laun sudah mulai terasa hasilnya dari kedua belah pihak. Mulai dari Dera yang terkadang sudah bisa ikut tertawa jika ada yang lucu dan ada Tara di sekitarnya, Adil yang mulai tahu diri dan yang paling penting: mereka sudah seperti keluarga sesungguhnya.

Satu-dua kali Saka menginap di rumah Luna, untuk bermain game di komputer bersama Tara kalau lelaki itu sedang tidak ada pekerjaan. Marsha bahkan sudah memperkenalkan Tara kepada teman-temannya dengan sebutan "kakak aku yang lama hilang" dan dengan cepat membuat popularitasnya naik di kalangan remaja itu, mengalahkan Saka yang tadinya paling populer di kalangan teman-teman Marsha.

Sekarang, dia baru saja keluar dari photo booth. Tangannya menggenggam sebuah foto ukuran post card dengan frame bertuliskan Nova Sweet 17. Ia berforo bersama Nova dan Marsha sementara yang lain membiarkannya terjebak. Menciptakan harem bersama remaja belasan tahun yang memujanya bagai dewa.

"Suka banget, ya, sama yang lebih muda?" canda Saka saat melihat Tara menatap foto di depannya lekat.

Tara nyengir, "kind of. Kenapa? Ada yang mau lo jodohin sama gue?" Balas Tara yang disahuti Saka dengan kekeh kecil.

"Soal anak SMA mah dia gak ngerti," itu suara Dera, "Marsha tuh stoknya banyak."

"Iyalah," keluh Saka, "dia juga masih SMA."

"Kak Taaaaaar," panggil Nova.

"Kenapa, Nov?"

Nova tersenyum. Senyum jahil yang kadang-kadang dipamerkan juga oleh Marsha, adik bungsunya itu. Di balik tubuh bongsornya yang terbalut gaun cantik berwarna putih gading, tampak seorang perempuan lagi. Mengenakan riasan tipis sementara tubuh kurusnya terbungkus terusan putih minimalis selutut.

Nova nyengir-nyengir. Lalu disusul permintaan sederhana, "temen aku mau foto bareng. Boleh ya kak?"

"Ciee banyak fansnya," ledek Saka iseng.

Begini? Begini rasanya punya keluarga? Adik, kakak semuanya. Lengkap. Ada tempat mengadu, bercerita, menghabiskan waktu dan saling meledek tanpa sakit hati. Kenapa dari dulu ia tidak diperkenalkan dengan rasa ini?

Tara tidak menyesal. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan?

Meski sedikit dan terlambat 21 tahun, Tara menyukai ini. Ia suka punya saudara. Keluarga besar tempatnya mengadu.

Cukup.

Sementara, ini cukup.

Tanpa ragu, Tara mengangguk, "ayo."

"Cie ditanggepin," ledek Marsha yang muncul kemudian dengan sepiring kecil puding coklat dengan vla .

Kebahagian keluarganya sepadan dengan ini.

Sangat.

Ini akhir bahagia yang ia damba. Lebih bahagia dari perang dingin yang berbahan nuklir. Karena, apa yang bisa lebih membahagiakan selain kebersamaan dengan keluarga? Tapi, samar, tanpa bisa ia cegah, rindu merayapi hatinya. Dari dalam, ia sadar betul, ia mengharapkan ibunya di sana. Bercanda, berfoto dan bercengkrama dengannya. Perlahan, ia tau, ia harus membuat ibunya bisa kembali ke sini. Menjadi satu dengan keluarganya.

Iya, kan?

[3/3] It's tomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang