6

7.5K 911 20
                                    

"Kenapa, Dil?" tanya Cintia dari seberang sana. Meski tidak bisa dibilang tipikal keluarga idaman, pernikahan Adil juga bukan tipikal pernikahan yang kelihatan sudah siap hancur. Keluarga itu tampak baik-baik saja. Adil bahkan memiliki tiga orang anak. Lebih banyak dari dirinya yang cuma punya satu dan adik mereka, Zahra yang punya dua. Jadi, kenapa?

"Dera punya pacar, Cin. Namanya Tara. Seumuran Saka gitu. Dia baik, sih kayaknya."

"Trus apa hubungannya sama keinginan lo buat bercerai?"

"Dia tadi datang, pas Dera gak ada. Dia..."

"Dia kenapa, Dil? Jangan kayak sinetron gitu."

"Dia anak aku. Dia anak aku dari Luna."

Luna. Nama yang sudah sangat dikenal di keluarga Adibrata meski fisiknya tidak pernah ada yang tau. Zahra pernah ketemu sih sekali dan mati-matian dia bilang, "biasa aja." meski mimiknya seolah mengatakan sebaliknya. Sewaktu Luna menelepon dan mengatakan kalau dia mengandung, Cintia adalah orang pertama yang dihubungi Adil dan Adil menangis seperti bayi waktu itu sampai Cintia harus benar-benar hening untuk bisa mendengar kalimat yang keluar dari antara isak Adil. Dari dulu, Cintia merasa Luna pasti kembali. Meminta pertanggungjawaban atau setidaknya bantuan finansial. Tapi, setelah lebih dari 20 tahun dan setelah semua orang tampak lupa, hal itu baru muncul ke permukaan.

"Dan kamu mau nikahi Luna?"

"Dia marah sama aku, Cin."

"Luna?"

"Tara. Anak aku. Dia marah. Dia merasa terbuang. Dia mau ambil semua haknya, semua yang telat aku kasih. Dia mau aku ninggalin keluarga aku dan milih dia."

"DAN LO MAU?" teriak Cintia, geram. "You are dumb, stupid. Use your brain!

"He is my son, dammit! Dia gak minta pun gue bakal milih dia, Cin."

"Segampang itu? Lo kira Saka, Dera sama Marsha apa? Action figures? They are humans. They have feelings."

"Mereka udah gede, udah ngertilah."

"Anak lo dari Luna, siapa namanya itu? Dia juga udah gede. Dia juga harusnya udah ngerti. He isn't a child anymore. Can't you understand?"

"Cin, lo bisa ngerti kalau di posisi dia gak sih? Gue udah nemenin anak-anak gue 21 tahun, apa salahnya sih gue ngutamain dia sekarang?"

"Dil, kalau udah urusannya sama Luna, lo gak bakal bisa pake akal sehat lagi, kan?"

"Cin."

"This conversation is done. Bye." Dan telepon diputus. 

Adil sadar: satu, Cintia benar. Karena bahkan, setelah bertahun-tahun, Luna tetap jadi kelemahannya. Luna adalah satu-satunya kryptonitenya. Hanya Luna yang mampu membuat Adil seimpulsif itu. Dan dua, tidak ada gunanya membicarakan itu pada siapapun. Cintia atau siapapun. Sebab pada akhirnya, keputusan terakhir ada di tangannya. Hanya dia yang bisa mengubah keputusan. Sebab hidupnya diatur oleh dirinya sendiri.

****

Jam digital sudah menunjukkan pukul tiga pagi lewat, Luna tidak bisa tidur. Ia menghela napas. Ia harus mengambil keputusan ini. Sambil membawa ponselnya, ia mengendap-endap menuju kamar Tara. Anak lelakinya itu terlelap, pulas. Wajahnya tampak lelah. Bekas merah di pipi Tara telah lenyap tapi Luna tau, hati Tara masih memerah akibat tamparannya tadi. 

Pelan, Luna membuka ponsel Tara. Luna memang mengetahui kata sandi anak lelakinya itu. Luna dan Tara, karena mereka hanya tinggal berdua di Bumi--contoh nyata kasus sebatang kara, mereka berdua akhirnya belajar untuk saling terbuka, saling dekat, saling berbagi. Tidak ada rahasia, tidak ada kebohongan. Hanya mereka berdua.

Luna mencari di daftar kontak. Adil, nihil. Papa, nihil. Adibrata, nihil. Luna menghela napas, mungkin Tara memang tidak menyimpan nomor Adil. Luna berusaha mengingat-ingat. Siapa nama pacar Tara tadi? Yang katanya anak Adil itu? Gagal mengingatnya, Luna akhirnya memutuskan membuka tab last call dan dengan cepat ia mendapatkan sebuah nama: Adera Mahesa. Cepat, Luna menyalin nomor itu ke ponselnya dan sebelum Tara menyadari keberadaan Luna, Luna sudah keluar dari kamar itu.

Luna tau itu terkesan bodoh dan mirip orang gila, tapi nyaris jam 4 subuh, dia mengirimi Adera sebuah pesan: Hai, Adera. Ini mamanya Tara. Bisa kita ketemuan?

20 menit berlalu dan tak ada jawaban. Wajar, mungkin Dera terlelap. Sekarang masih terlalu dini untuk terjaga. Luna menyerah, dengan TV menyala, ia memutuskan untuk terlelap. Ia bermimpi Adil memeluk Tara.

***

Dera terbangun sekitar pukul delapan, kepalanya agak pusing karena semalaman menangis. Saka sudah terbangun dan sedang menaikkan barang-barang. Hari ini, libur akhir pekan mereka berakhir, mereka akan kembali ke Jakarta.

Dera memeluk Ibunya dari belakang, biasanya, ia akan menemukan Ibunya tertawa. Tapi, kali ini, Lia tampak lebih diam. "Mama kenapa?"

"Bude Cintia tadi telpon. Agak aneh, deh."

"Dia bilang apa emang?"

"Kalau papa kamu bilang apa aja yang agak aneh, biarin aja. Katanya papa kamu lagi butuh obat dan budemu lagi lupa beli."

"Emang papa sakit apa?" tanya Dera.

"Makanya. Selama Mama nikah sama Papa, mama enggak ingat papa kamu pernah sakit yang bisa kambuh. Budemu cuma bilang: papa kamu bakal ngelantur parah."

Dera mengedikkan bahunya lalu menggigit sandwich, "kita liat aja nanti di Jakarta."

"Kamu gimana, Der? Udah agak baikan?"

Dera nyengir. "Gak taulah Ma."

"Kalian ada masalah apa, sih? Kayaknya Tara baik. Kok tiba-tiba minta putus?"

"Tapi aku tiba-tiba takut sama Tara, Ma. Dia gak seperti Tara yang aku kenal. Apa maksudnya dengan kalimat terbuang seumur hidup itu?"

Lia menatap putrinya, bingung, "atau Tara kena penyakit ngelantur kayak yang budemu bilang lagi diderita papamu?"

"MAMAAAAAAAAAAAAAAAAAAA," teriak Marsha. Sukses membuat Kakak dan Ibunya terdistraksi dari pikiran mereka.

"Aku mandi dulu, ya, Ma," pamit Dera lalu kembali ke kamarnya.

Setelah mandi, Dera baru membuka ponselnya yang sejak semalam ia pasang mode silent. Ada satu pesan yang masuk. Biasanya, jarang ada yang mengirim SMS. Rata-rata orang menghubunginya melalui aplikasi chat atau messenger. Dera memutar mata: paling operator atau penjual obat esek-esek yang menipu dengan modus obat murah.

Tangannya baru saja mau menghapus pesan itu tanpa membacanya saat ia melihat nama Tara dari bagian luar pesan. Cepat, ia membuka pesan itu. Dari mamanya Tara? Degup jantung Dera berubah jadi tak terkendali. Ada apa? Apa Mama Tara mau memberinya peringatan tentang kehancuran seperti Tara semalam? Meski enggan, Dera memutuskan menelepon nomor itu. Panggilan ditolak. PANGGILAN DITOLAK? Yang benar saja! Dera baru mau menelepon ulang saat sebuah pesan masuk.

Mama Tara: Jangan nelpon, ada Tara. Tante gak mau dia tau kalau tante SMS kamu.

Adera Mahesa: Ok, tan. Tante ada apa ya mau ajak ketemuan?

Mama Tara: Ada yang mau tante omongin tentang Tara dan hubungan kalian. Tadi malam tante denger waktu Tara nelpon minta putus. Makanya tante mau ketemu.

Adera Mahesa: Kalau tante merasa enggak enak, Dera enggak apa-apa, kok. Mungkin kami belum berjodoh.

Mama Tara: Masalahnya enggak sesederhana itu. Bisa kita ketemuan? Ini penting.

Adera Mahesa: Dera masih di Puncak, tante. Hari ini pulang. Agak sore mungkin bisa. Nanti Dera kabarin ya.

Mama Tara: Oke. Makasih.

[3/3] It's tomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang