Semua orang berkumpul di ruangan itu dengan sukacita. Itu merupakan hari resepsi pernikahan lelaki itu. Resepsi itu diadakan di sebuah gedung besar dengan kapasitas tamu lebih dari seribu orang. Tara resmi menjadi suami orang setelah pagi tadi mengucapkan ikrar suci di depan altar gereja tempat mereka terdaftar sebagai umat. Sekarang, di antara banyak orang, mereka menyalami tamu. Mengucap selamat pada kedua mempelai.
"Makanannya enak," komentar beberapa.
"Gaun pengantinnya cantik."
"Pengantinnya cantik."
"Tara kelihatan bahagia."
Banyak pujian bertebaran. Karena semuanya memang bahagia. Seluruh keluarga besar Adibrata hadir di sana.
Termasuk Dera. Hadir dengan gaun hitam sederhana dan riasan tipis di wajah. Menatap lelaki yang pernah dicumbunya tapi sekarang sudah berubah status menjadi kakak lelakinya.
Bagaimana bisa ia merubah cara pandangnya terhadap lelaki itu? Dalam benaknya, kata karma berlari-lari. Apa ini balasan karena dulu Ayahnya memperlakukan Ibu Tara dengan begitu jahat? Bedanya, kali ini, tak akan ada skandal antara dirinya dan Tara. Ia tahu jelas itu.
Setelah mengetahui kalau ia dan Dera seayah, Tara mengambil langkah menjauh tanpa pernah mencoba menoleh ke belakang. Tidak sekalipun. Lelaki itu juga bukannya berkencan buru-buru dengan sembarang wanita, untuk mencari pelarian. Tara melakukannya dengan perlahan. Tara baru berkencan dengan Keiko, enam bulan setelah mereka berpisah. Itu juga tidak langsung serius. Mereka hanya sering keluar bareng. Mereka bahkan baru menikah empat tahun setelah mulai berkencan.
Meninggalkan Dera sendirian.
"Lo gak nyalam, Der?" tanya Saka pada adiknya.
"Duluan aja, Mas," pinta Dera. "Aku mau ambil dessert dulu."
Saka tahu, adiknya tidak baik-baik saja. Jadi, ia juga memutuskan tetap di sana, menunda rencananya menyapa kedua mempelai.
"Kamu masih sayang sama dia?" tanya Saka tanpa melihat adiknya. Dari kaca ruangan, ia bisa melihat jalanan Ibukota dari lantai lima belas. Semua yang kita pandang besar, tampak kecil. Mobil menampilkan pendar, pejalan kaki bagai gugusan semut dan hal-hal seperti itu.
"Dia kakakku. Aku sayang dia kayak aku sayang kamu," bantahnya.
"Kalau aku nikah, aku tahu, kamu bakal jadi yang paling ribet, Der. Kamu yang akan bantuin nyari gaun, kamu bakal nyalam aku paling cepat, becandain biar aku enggak nervous dan lainnya. Kamu gak bakal diri di sini sendirian sambil natap mereka dengan pandangan kosong."
Dera memejam. "Takdir jahat."
"Anggaplah begitu," pinta Saka. "Tapi, kamu mau kayak apa? Emang begini jalannya, Der."
"Marsya aja udah punya pacar," keluh Dera sambil menatap adiknya yang bergelayut manja pada seorang lelaki yang usinya tidak berbeda jauh dari Dera.
"Kamu sendiri yang milih buat tenggelam dalam kenangan, Der. Kamu yang milih nutup diri kamu dari lelaki lain. Kamu yang mengunci pandang kamu pada Tara--yang bahkan udah enggak perduli lagi. Kamu bisa melupakan dia kalau kamu mau."
"Takdir jahat," ujar Dera lagi. Kali ini, suaranya bergetar.
"Jangan nangis di nikahan mantan, Der. Malu."
"Takdir Jahat," Dera tak bisa menahan air matanya untuk tidak tumpah.
"Der.."
"Dia bisa jadi apa aja. Dia bisa aja jadi pengedar narkoba, dia bisa aja jadi pemerkosa, dia bisa jadi rampok, dia bisa jadi apa aja. Apa aja. Biar aku benci sama dia. Tapi, kenapa dia harus jadi saudara aku?"
"Karena, bahkan kalaupun dia jadi pengedar narkoba, pemerkosa atau apapun: kamu bakal tetap sayang sama dia, Der. Hati kamu milih dia."
Dera tau Saka benar. Tapi rasanya... begitu sulit.
"Kenapa?" tanya Dera dengan tatapan kosong meski matanya menghadap Saka.
"Karena takdir jahat."
Dera tidak bisa menangis, Saka benar: akan memalukan kalau ia menangis di pernikahan mantan kekasih meski orang-orang hanya mengetahui kalau mereka adalah saudara seayah.
"Takdir jahat."
**
Dera akhirnya tidak jadi menyalam mempelai, Tara mengetahui itu. Tara tidak bisa berkomentar apa-apa. Baginya, Dera adalah yang tersulit dari keluarga Adibrata. Ia sudah dekat dengan semua saudaranya: anak-anak ayahnya maupun sepupu-sepupu. Tapi, Dera.. entahlah. Perempuan itu terlalu sulit dijangkau. Satu, perempuan itu memang tertutup. Kedua, masa lalu mereka seolah mempersulit semuanya.
Tara tidak bisa bilang apa-apa. Kalau ditanya bagaimana perasaannya pada Dera, ia dengan yakin sanggup menjawab tak bisa membedakan Marsya dan Dera. Mereka semua sama: adiknya.
Tapi, Dera tak kunjung memperlakukannya dengan sama seperti iamemperlakukan Saka setelah tahun demi tahun berlalu. Ia harus apa?
"Kenapa, Tar?" tanya Keiko, istrinya.
Tara tersenyum, menggeleng. "Capek aja."
Dia bukan bohong, ia memang capek menghadapi adiknya yang satu itu.
Tara menyerah. Biar waktu yang membuat mereka menjadi biasa lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3/3] It's tomorrow
ChickLit"Your past is always your past. Even if you forget it, it remembers you." ― Sarah Dessen