[bonus] Tara dan konsep "Ayah"

7.8K 690 46
                                    

Tara kecil sebenarnya enggak tahu apa itu Ayah.

Kenapa ia harus punya Ayah?

Kenapa di buku-buku pelajaran, seorang anak muncul dari Ayah + Ibu?

Kenapa ia tidak punya Ayah?

Kenapa di buku tulisannya 'Ini Ibu Budi, Ini Ayah Budi, Ini Budi' tapi kenapa miliknya hanya 'Ini Mama Tara, Ini Tara'?

Di mana Ayah?

"Mama," panggil Tara malam itu, sekitar pukul delapan. Ia sudah mengantuk sebenarnya, tapi, ia menahan dirinya supaya tidak terlelap supaya bisa bersua dengan Ibunya yang seharian bekerja itu.

Luna, yang masih mengenakan pakaian kerja: rok span selutut dan kemeja yang dipadu blazer, menoleh, "kenapa, sayang?" tanyanya dengan lembut. Semua kelelahannya menguap saat melihat wajah Tara yang menggemaskan dan lebih banyak mengambil fisik Adil itu—bibirnya, alisnya, pipinya.

Tara naik ke pangkuan Luna, Luna memeluknya dengan lembut dan menghujani ciuman kecil di pipi Tara yang mirip Adil tapi lebih chubby.

"Tadi Tara belajar soal Budi di sekolah."

"Budi?" Luna tidak paham maksud Tara.

"Iya. Mama, tau, kan. Ini Budi.. Ini Ibu Budi.."

Oh, that famous Budi, toh, maksudnya. Luna mengangguk. "Mama tau Budi yang itu. Dia kenapa?"

"Dia punya Ayah, Ma."

Deg!

..

..

..

Belum sempat Luna menenangkan hatinya yang sudah tidak karuan, pertanyaan itu akhirnya meluncur, dari bibir mungil Tara yang dicintainya, "Tara punya Ayah, enggak?"

Luna tidak tahu harus menjawab apa. Tara punya Ayah. Tentu saja. Luna, kan, tidak melahirkannya dari hasil membelah diri. Luna juga enggak mau berbohong pada Tara. Ia tidak mau Tara akhirnya membenci Luna kalau sampai suatu hari nanti, anaknya tahu kalau ia sejak kecil dibohongi. Mau bilang Ayahnya sudah mati? Bagaimana kalau Tara malah meminta diantar ke makam? Mungkin bukan sekarang. Tapi, pasti hari itu akan ada karena Tara tidak akan menjadi anak kecil selamanya.

"Tara," sebuah suara perempuan memanggil. Nita, pengasuh Tara, berdiri di sana, "ayo, tidur. Tara besok sekolah, kan?"

"Mama..," rengek Tara.

"Besok Mama kasih tau, ya, sayang. Tara tidur dulu. Udah malam. Oke?"

Tara cemberut. Tapi, akhirnya ikut juga ke kamar bersama Nita.

Rasa lelah berkumpul di tubuh Luna. Bukan karena bekerja, tapi karena kenyataan menyesakkan yang minta ditembakkan keluar. Bagaimana ia menjawab anaknya? Apakah ia harus jujur dan mengatakan kalau Ayah Tara adalah suami dari wanita lain dan membiarkan dirinya mengakui kalau dia se-jalang itu? Atau malah dia memutarbalikan fakta, dengan mengatakan kalau Tara adalah anak dari lelaki bangsat yang memilih meninggalkannya dan menikah dengan wanita lain? Ya ampun, membayangkan menjahati Adil saja Luna tidak tega.

Luna menatap foto di depannya. Selembar foto dirinya dengan Adil yang ia simpan di rak bawah bajunya. Saat semuanya masih baik-baik saja. Saat semuanya masih sempurna. Atau enggak? Luna enggak bisa bilang semuanya baik-baik saja karena foto itu diabadikan saat Adil sudah beristrikan wanita lain.

Luna jatuh terlelap. Bersamaan dengan foto Adil dalam dekapnya.

***

Luna terbangun pukul delapan, matanya sembap. Rumahnya kosong, Tara dan Nita sudah berangkat. Tanpa mandi, ia menghidupkan mesin mobil. Membiarkan dirinya melajukan mobil ke sebuah rumah besar. Rumah yang sama dengan bertahun-tahun lalu saat ia berkenalan dengan Lia. Rumah Adil.

Mobil lelaki itu masih ada di sana. Terparkir.

Adil keluar. Dengan setelan lengkap. Disusul Lia yang menggendong seorang anak perempuan dan sedang berbadan dua. Tak lama, dengan langkah kecil, datang anak lainnya. Usianya kira-kira sama dengan Tara. Memakai seragam pelaut khas anak TK.

Anak lelaki itu ikut naik bersama ke mobil Adil. Dengan matanya sendiri, Luna melihat tangan Adil dicium oleh Lia dan anak perempuan yang ia gendong.

Tubuh Luna merosot. Tenggelam dalam tangis.

Katanya gak sayang. Anaknya sampai tiga!

***

Hari itu, Luna tidak kerja. Ia akhirnya memutuskan menjemput Tara di sekolah, setelah sebelumnya mengkonfirmasi dulu pada Nita supaya mereka tidak selisih jalan. Mereka singgah ke sebuah tempat makan dengan nuansa playground yang ramah untuk anak-anak untuk makan siang.

"Mama belom jawab pertanyaan Tara," ujar Tara begitu mereka duduk.

Nita sudah tidak ada di sana. Hanya ada mereka berdua. Luna memintanya untuk ke supermarket, membeli beberapa kebutuhan sekaligus sebagai alibi supaya ia bisa hanya berdua dengan Tara.

"Iya, Tara. Ini Mama mau jawab.."

Tara tersenyum lebar. Luna menjadi sedih melihatnya. Apakah ia akan menghancurkan senyum Tara?

"Tara punya Ayah."

"Beneran?"

Luna mengangguk. "Dia masih sehat. Masih hidup."

"Trus kenapa Tara enggak pernah ketemu?"

"Itu hal yang mungkin Tara belum paham. Di kehidupan orang tua, kayak Mama, enggak semuanya sederhana. Papa sama Mama mutusin buat enggak tinggal sama-sama. Papa punya kehidupan sendiri. Mama juga."

"Maksudnya apa, Ma?" Tara gagal paham.

"Nanti Tara bakal ngerti. Sekarang, Mama tanya Tara, Tara senang enggak tinggal sama Mama?"

Tara mengangguk.

"Tara merasa ada yang kurang?"

Tara menggeleng.

"Nah, kalau gitu, kita kayak gini terus enggak apa-apa, kan?"

"Jadi, Tara enggak bisa ketemu Papa?"

Luna mengangguk, "bisa. Tapi, enggak sekarang. Oke?"

Tara kembali mengangguk.

Luna merasa lega. Ia tidak perlu membohongi anaknya ataupun menjelek-jelekkan Adil di matanya. Ia hanya perlu jujur. Dan sedikit banyak, itu membuat bebannya bergeser.

[3/3] It's tomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang