Tiga Puluh Dua

1.4K 54 8
                                    

Ternyata Austin mengajakku ke kebun binatang. Karena aku suka binatang, tentu saja aku bersemangat. Ia memang tahu cara menyenangkan hatiku. Aku bahkan turun terlebih dahulu sebelum Austin. Setelah ia juga turun dari mobil, aku langsung menariknya. Ia bahkan harus membuatku kalem dulu, baru kami berjalan bersama.

Austin benar-benar mengenalku.

Ia tahu aku pecinta binatang. Dan ia tahu binatang dapat membuatku ceria. Belikan saja aku seekor anjing, dan aku akan langsung menyukaimu. Kami berjalan dengan tangan saling menggenggam. Mataku dari tadi tidak fokus antara ke kandang satu dan kandang lainnya. Aku terlalu bersemangat.

Pertama, kami singgah di depan kandang singa. Dari dulu aku ingin memelihara singa, jika saja mereka tidak buas. Menurutku tidak adil kucing besar lucu itu adalah hewan buas. Seekor singa jantan besar menatapku dengan kedua matanya. Tentu saja itu membuatku semakin ingin memelihara dia.

Setelah puas melihat singa, kami beralih ke kandang monyet. Aku memperhatikan mereka bergelantungan di pohon, berpindah dari pohon satu ke pohon lain dengan lincahnya. "Hey, lihat! Yang satu itu mirip kau," kataku sambil menunjuk seekor monyet yang sedang mengawasi kami.

"Wah," kata Austin. "Dia beruntung sekali bisa mirip denganku. Lihat, deh. Yang sedang bergelantungan itu juga mirip denganmu." Austin tertawa sambil menunjuk seekor monyet yang bergelantungan di dahan pohon di dekat kami. Aku mendengus, kemudian ikut tertawa. Austin merangkulku saat kami menjauh dari situ.

Kami kemudian beralih ke kandang iguana. Seekor iguana berwarna merah belang hijau dan biru menarik perhatianku sedetik setelah melihatnya. Ia begitu cantik. Gerakannya anggun namun lambat. Ia bahkan tidak memperhatikan kami. Aku melirik Austin yang sedang menatapku.

"Nah," katanya. "Yang ini baru benar-benar mirip kau. Cantik." Tentu saja aku tersipu. Aku bersandar di bahunya. Entah kenapa aku mudah sekali tersipu jika berurusan dengan Austin.

Hal yang kusuka dari kebun binatang ini adalah, mereka tidak hanya meletakkan binatang-binatang di kandang. Ada juga yang di biarkan lepas di tempat seperti alam liar, meski pun tetap berpagar untuk mencegah mereka kabur. Kami berkesempatan untuk berinteraksi dengan anak-anak macan tutul. Aku sudah menantikan ini sedetik setelah memasuki kebun binatang satu ini.

Si pawang membawakan kami dua ekor anak macan tutul yang tidak terlalu kecil, namun juga tidak terlalu besar. Mereka lucu sekali. Aku semakin semangat untuk membawa mereka pulang jika diperbolehkan. Tentu saja tidak. Tapi tak apalah. Melihat mereka saja sudah menjadi kepuasan tersendiri bagiku.

Aku menggendong salah satunya di bahuku, dan Austin menggendong yang satunya. Mereka lincah sekali. Aku sampai kewalahan ketika anak macan tutul di gendonganku berontak dan malah menaiki badanku hingga aku harus menunduk. Bukannya marah, aku malah senang. Aku tertawa-tawa melihat badan Austin juga dinaiki anak macan tutulnya.

"Mereka lincah sekali," katanya mengutarakan pikiranku tadi. "Sangat lucu."

"Oh astaga!" kataku sambil tertawa. "Ia mulai menaiki kepalaku."

Meski pun masih anak-anak, ternyata yang satu ini cukup berat juga. Leherku jadi pegal. Tapi aku tak mau momen ini berakhir cepat. Aku menggendong kembali si anak macan tutul ini. Tampangnya yang imut-imut membuatku ingin menyubitnya terus-menerus.

Aku baru sadar kalau ternyata Austin merekamku dan anak macan tutulku. Ia tersenyum selagi melakukannya. Aku ikutan tersenyum. Ketika anak macan tutulku melompatiku, aku berteriak kegirangan dan tertawa. Tahu-tahu, Austin kembali menggendong anak macan tutulnya, dan si pawang yang memegangi ponsel Austin untuk merekam kami berdua. Kami bercanda, tertawa, tersenyum, berteriak. Kesedihanku terlupakan oleh momen ini. Momen indah bersama Austin dan anak-anak macan tutul lucu di kebun binatang.

My Beloved Senior✔ [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang