Enam Belas

2.4K 119 15
                                    

"Itu hanya untuk melupakanmu," kataku. "Meskipun aku tak yakin aku bisa."

"Kalau begitu jangan," katanya. Ia menatapku dalam. Bagaimana mungkin Greyson bisa seegois ini? Ia menyuruhku untuk tidak melupakannya sementara ia bahkan tidak memberi jawaban atas perasaanku. Seketika itu aku merasa marah.

   Namun anehnya, amarah itu dikalahkan oleh perasaan bahagia karena melihat tatapan lembut Greyson padaku. Aku tersesat lagi di matanya. Aku hampir tidak bisa mengendalikan diriku. Ada perasaan hangat, marah, kesal, dan bahagia yang bercampur di dalam dadaku. Ada sesuatu dalam diriku yang menyuruhku untuk mencium Greyson. Aku hampir melakukannya. Tapi aku sadar kalau itu hanya akan membuatnya marah dan pergi dari hidupku selamanya.

"Kau tidak perlu takut orang-orang akan membullymu. Aku akan menjauhkan mereka darimu. Setiap orang yang mencoba menyakitimu akan berhadapan denganku," katanya, seolah ia bisa membaca pikiranku. Apa yang dikatakan oleh alien ini barusan? Dia mau melindungiku? Kenapa dia mesti repot-repot ingin melakukan itu?

"Kau aneh," kataku.

Ia terkekeh, "ayo, kuantar kau pulang." Ia menggamit tanganku, dan menuntunku menuju mobilnya. Aku tidak bisa menolak. Dan tidak akan pernah bisa. Ya Tuhan, ini pertama kalinya ia mengantarkanku pulang. Hal yang kuanggap hanya sebatas khayalanku ternyata terjadi hari ini. Saat ini juga.

"Di mana rumahmu?" tanyanya saat di perjalanan. Kuberitahu dia di mana alamat rumahku. Setelah itu kami terdiam cukup lama.

"Aku ingin bertanya padamu," kataku memecah keheningan.

"Apa?"

"Kenapa kau mengundurkan diri dari grup paduan suara? Apa karena kau menghindariku? Bukannya aku terlalu percaya diri, tapi maksudku, apa itu karena kau muak melihatku?" Ia sontak tertawa keras. Apa yang lucu?

"Ya ampun! Kalau aku menghindarimu, tidak mungkin aku mengantarkanmu pulang, atau mengajakmu bicara, atau memelukmu," jawabnya, masih tertawa keras. "Aku keluar karena... masalah pribadi. Sebenarnya aku menghindari seseorang, tapi bukan kau."

"Oh, syukurlah. Kukira kau sudah ingin menendangku jauh-jauh dari kehidupanmu." Ia tertawa lagi. Kali ini lebih keras.

"Kau yang seharusnnya menendang jauh-jauh pemikiran bodohmu itu," katanya. Aku sibuk memandanginya saat ia tertawa. Apa ia tidak bosan-bosan membuatku jatuh cinta seperti ini? Aku tersenyum idiot melihatnya. Demi Tuhan ia terlihat sangat mempesona.

Dia tidak tahu apa efek dari suara tawanya. Suaranya bagaikan menggema di telingaku. Dan cara dia tertawa, dengan mulut terbuka lebar, membuatku entah bagaimana merasa bahagia. Matanya berseri-seri. Dan itu hanya beberapa contoh hal yang membuatku tertarik padanya.

Dan ia tertawa karenaku!

Tak ada perasaan yang lebih baik selain melihat seseorang yang kaucintai tertawa karenamu. Ia tertawa lepas tanpa beban. Seolah hidupnya bahagia sekali saat ini. Sepertinya aku yang lebih bahagia. Yang terpenting, kami sama-sama bahagia.

Aku bahkan bisa memandangi selama semenit dan menemukan jutaan hal yang kusukai tentangnya.

Setelah itu kami diam lagi. Aku masih sibuk memandanginya saat ia menyetir. Raut wajahnya kembali dingin. Itu ciri khasnya. Aku bahkan tak sadar kalau kami sudah sampai di depan rumahku. Aku menggumamkan terima kasih padanya, yang dibalasnya dengan senyuman. Aku keluar dari mobilnya, sambil melambai-lambaikan tangan padanya. Ia mengangguk sebelum akhirnya menancap gas kembali dan berlalu dari hadapanku.

Kulangkahkan kakiku memasuki rumahku. Senyumku masih belum hilang dari wajahku. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruang tamu. Tak tampak keberadaan ibuku di mana pun. Apa ibuku pergi lagi? Bagus.

Kulempar sembarang tasku ke sofa, lalu aku melangkah ke dapur. Aku terduduk di kursi ruang makan sembari menatap makan siangku yang sudah disiapkan di atas meja. Ini hari yang melelahkan, hingga membuatku tidak berselera makan. Lagipula aku juga sudah makan siang dengan Maddi.

Tanpa sadar aku tersenyum lagi mengingat kejadian tadi. Ia benar-benar mengubah moodku menjadi lebih baik. Tuhan, aku ingin selalu melihatnya tertawa seperti tadi. Itu luar biasa bagiku. Aku tidak pernah membayangkan bisa membuatnya sebahagia itu. Memikirkannya pun aku tidak berani. Semoga saja ia tidak berubah lagi. Aku tidak ingin ia berubah. Itu sama saja ia memainkan perasaanku. Aku membenci hal itu.

Beberapa jam berikutnya, aku hanya duduk santai di kamarku, sampai menunggu waktunya berangkat latihan. Aku sempat berharap kalau Greyson yang menjemputku. Namun itu mustahil. Ia kan keluar dari grup paduan suara. Mana mungkin ia mau repot-repot mengantarku. Aku bukan siapa-siapanya. Belum, mungkin.

Waktu terasa berjalan begitu cepat. Maddi tiba-tiba saja masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Memang begitu sih kebiasaannya. Ia memasang senyum super manis padaku. Kubalas senyumnya. Kemudian ia duduk di sampingku.

"Aku akan menculikmu lagi dari Austin," katanya dengan riang. Maddiku benar-benar kembali. "Tidak adil kalau hanya dia yang bisa menghabiskan waktu bersamamu."

Lho, bukannya dia yang menjauh dari kami?

Aku terkekeh. Kuajak dia untuk segera berangkat. Tak berapa lama kemudian, kami telah sampai di sekolah. Aku baru sadar kalau aku belum memberitahu Austin untuk tidak menjemputku. Jadi kutelepon dia. Dia hanya mengatakan tidak apa-apa.

Kami memasuki ruang musik. Masih belum terlalu banyak orang di dalam sana. Kami mengambil tempat duduk paling depan. Sekilas aku bisa melihat orang-orang memandangiku dengan aneh, seolah aku adalah makhluk asing yang ingin menjajah planet mereka. Namun kuabaikan saja. Lagipula jika mereka berbuat sesuatu padaku, Greyson bisa mengatasinya. Aku hanya berharap ia tidak bohong.

Seperti biasa, kami membicarakan hal-hal yang tidak jelas. Aku menceritakan kepada Maddi tentang Greyson tadi siang. Ia tersenyum penuh arti, namun aku tidak bisa mengetahui artinya. Mungkin ia juga bahagia dengan hal itu.

Austin datang beberapa menit setelah kami. Ia langsung mengambil tempat duduk di sebelahku. Hal itu tampaknya mengganggu Maddi. Wajahnya merengut. Sementara Austin tidak memerhatikannya. Kami berbincang-bincang, tapi setiap Austin mengajak bicara Maddi, ia hanya menjawab dengan bahasa isyarat. Aku bingung dengan perubahan sikapnya yang terlampau begitu cepat. Hal ini semakin menganehkan saja.

"Mads, kau lupa cara bicara?" tanyaku.

"Tidak, kok."

"Maka bicaralah! Kenapa kau tiba-tiba berubah? Menurutku tadi kau biasa-biasa saja," tuntutku.

"Aku pengacau, ya? Ya sudah, aku pindah saja," kata Austin seraya bangkit dari tempatnya. Buru-buru aku menariknya duduk lagi.

"Tidak usah," kataku. Maddi langsung memutar bola matanya. Aku memicingkan mata padanya. Sedetik kemudian, ia segera mengalihkan pandangannya. Austin tersenyum penuh kemenangan.

Kenapa sikap Maddi berubah setiap ada Austin? Dulu ia malah paling semangat kalau ada Austin. Biasanya jika Austin tak bersama kami, ia yang lebih dahulu mengeluh daripada aku. Kenapa semuanya berubah? Apa yang sebenarnya terjadi?

Austin Reynold on mulmed.

Greyson sudah cukup aneh? Well, Maddi juga aneh muehehe. Vote and comment ya?

My Beloved Senior✔ [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang