Tiga

3.7K 249 37
                                    

Aku menyiapkan buku psikologiku di atas meja. Aku berniat ingin mencatat apa yang akan dijelaskan Mr. Jake nanti, demi keselamatan nilaiku. Aku tidak mau mengorbankan nilaiku karena soal patah hati sinting ini.

   Austin mengeluh tentang pelajaran ini. Saat Mr. Jake masuk kelas dan memulai pelajaran, ia malah menggambar dengan santai. Satu-satunya pelajaran yang paling ia benci hanyalah psikologi. Ia bilang pelajaran itu adalah kelemahannya, tetapi nilainya hampir selalu lebih tinggi daripada aku. Aku mendengus melihatnya. Mungkin kapan-kapan aku harus kursus dengannya.

   Untungnya Dewi Fortuna berpihak kepadaku. Pelajaran itu berakhir sebelum tanganku hampir copot karena pegal. Aku hampir bersorak kegirangan, yang ternyata didahului oleh Maddi.

   Jam pelajaran berikutnya adalah biologi. Perasaanku seketika membaik. Aku begitu menyukai pelajaran itu. Aku belajar dengan semangat. Otakku mulai berfungsi kembali.

   Sayangnya pelajaran itu berakhir sebelum aku menyadarinya. Aku merapikan bukuku, kemudian keluar kelas bersama Austin dan Maddi.

   Semenjak kami masuk di kelas yang sama, kami jadi semakin akrab. Sebelumnya aku memang sudah akrab dengan Maddi. Tapi akhir kelas sepuluh, Austin mulai menjadi sahabat kami sampai sekarang.

   Kami bertiga sampai di kantin. Setelah memesan makanan, kami mengambil tempat duduk di pojok. Muka Austin masih murung. Aku tidak mengerti mengapa. Aku tadi salah bicara apa?

   Makananku sudah setengah habis, tetapi Austin masih mengaduk-aduk jus melonnya. Ia terlihat sedang berpikir keras. Maka aku merebutnya lalu meminumnya sampai hampir habis. Biasanya ia akan membalasku atau setidaknya menjitakku. Tapi kali ini ia hanya menatapku. Austin sangat aneh. Maddi saja terkejut karena Austin tidak bilang apa-apa.

   "Hello, Austin?" kataku. "Kau tidak seperti Austin yang kukenal. Kau siapa, ya? Jangan-jangan kau iblis yang merasuki Austin? Kembalikan Austin kami!" Aku mengguncang bahu Austin.

   "Ini aku," kata Austin. "Aku hanya lemas karena psikologi bodoh tadi."

   Tidak mungkin ia lemas hanya karena satu pelajaran. Ia kan pintar!

   "Bohong!" seru Maddi. Austin menggebrak meja, lalu pergi.

   Aku beradu pandang dengan Maddi. "Dia kenapa?" tanya Maddi.

   Aku menggeleng. "Aku akan bicara padanya nanti."

   Kami kembali melanjutkan makan. Aku melirik jus melon milik Austin yang belum habis, lalu segera kuminum. Kalau dibuang kan sayang. Setelah selesai, kami kembali ke kelas. Di sana, aku tidak menemukan Austin. Aku mulai khawatir dengannya. Aku keluar lagi dan mencarinya. Aku bertanya kepada orang-orang, tapi mereka cuma menggeleng.

   Aku mulai panik. Aku sempat bertemu Greyson yang bersandar di dinding perpustakaan. Dia menatapku dengan aneh, seakan aku adalah alien yang ingin menjajah dunianya. Aku tiba-tiba kesal. Bukannya mengerti perasaanku, ia malah semakin aneh memandangku. Aku berusaha untuk tidak mempedulikannya, dan kembali mencari Austin.

   Aku naik-turun tangga sampai kakiku terasa lemah. Tapi aku tetap mencarinya. Siapa tahu ia begitu karena aku? Aku merasa lelah sekali. Akhirnya aku menyerah dan bersandar di dinding ruang laboratorium fisika. Namun aku mendengar bunyi lemparan batu mengenai dinding. Aku mencari sumber suara.

   Di sebelah ruang laboratorium fisika adalah taman belakang sekolah yang biasanya tak terlalu ramai. Dan ternyata aku menemukan Austin di situ, sedang duduk di bangku. Aku langsung berlari ke arahnya. Aku memeluknya. Rasa khawatirku perlahan menghilang, apalagi setelah ia membalas pelukanku. Aku kemudian menjitak kepalanya dan ia mengaduh kesakitan.

My Beloved Senior✔ [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang