Chapter 3

130 10 0
                                    

Pagi yang cerah, sangat pas untuk berjogging sampai guling-guling. Rendy melakukan aktivitas bersepeda ke taman dekat kompleknya.

Sampailah Rendy di taman, ia mengeluarkan smartphonenya dan membuka salah satu aplikasi kamera yang cukup digemari para remaja zaman sekarang—b612.

Cekrek!

Cekrek!

Cekrek!

Cekrek!

Ada hampir 50 foto dengan berbagai bentuk kolom dan gaya yang Rendy simpan. Itupun belum disortir mana yang bagus dan mana yang tidak.

Saat proses penyortiran foto, Rendy melihat seorang remaja perempuan yang ikut ke foto di dalam foto dirinya. Kayaknya gue pernah liat dia? gumamnya.

Matahari telah menampakkan sinarnya, saatnya Rendy kembali ke kandangnya a.k.a rumahnya. Kenapa dibilang kandang? Karena rumahnya selalu sepi, orangtuanya sibuk dengan urusan pekerjaan masing-masing. Sampai-sampai kedua anaknya —Rendy dan Reny— tidak diperhatikan. Jika orang tuanya datang, pasti selalu ribut. Rendy benci ini.

“Huft, mama dan papa belum pulang kayaknya”. Rendy menghembuskan napasnya dengan berat. Saudara kembarnya—Reny Aprillya— sedang berada di rumah nenek sejak kecil, bertemu dengannya hanya disaat liburan.

Rendy duduk di sofa dan menyalakan tv. Rumah Rendy bisa dibilang mewah, mengingat mamanya —Pramudina adalah seorang model terkenal dan papanya—Bisma adalah seorang pengusaha. Kedua orang tuanya sering bertengkar karena gaji mamanya lebih besar dari gaji papanya. Mamanya selalu menjatuhkan harga diri papanya yang tidak bisa memberinya uang yang bisa dibilang besar. Akan tetapi, papanya hanya bisa pasrah dan sabar menghadapi Istrinya yang bisa dibilang terlalu matre. Dada terasa sesak jika mengingatnya.

Di luar rumah, Rendy selalu menampakkan senyumannya seolah-olah tanpa beban. Tapi di dalam rumah? Rendy tidak bisa menjelaskannya. Hancur.

Ting tong.. bunyi bel rumahnya, tanda ada yang bertamu. Rendy mencoba menampakkan senyumnya di cermin sebelum ia bertemu dengan tamunya. Apakah senyumannya terlihat tulus atau tidak. Menghembuskan napasnya dengan kasar dan menyemangatkan diri sendiri. “Rendy ganteng, tunjukkan pesonamu”. Begitulah ucapan Rendy yang pede tingkat kecambah.

Rendy melangkah menuju pintu yang membatasi teras dan ruang tamu. “Iya?”

“Hay Ren, apa kabar?”, sapa salah satu temannya yang bertamu di rumahnya.

“Baik Sep, silakan masuk”, suruh Rendy kepada temannya yang diketahui bernama Septi.

“Oke Ren”

Rendy menyuruh Septi dan temannya duduk dan membawa minuman berwarna hijau, mirip baygon tetapi bukan.

“Ada apa Sep, lo kesini?”, tanya Rendy sebagai pembukaan percakapan.

“Gpp sih, cuman pengen ngadem aja. Hahaha, kan rumah gue lagi listrik mati”, jawabnya dengan tanpa dosa.

“Yaelah, gue kira ada apa”, celetuk Rendy dengan kesal.

“Terus yang temen lo itu, kenapa kesini?”, lanjutnya. Rendy sadar kalau perempuan disamping Septi sedang dikacangi. “Oh iya lupa, gue tadi bawa makhluk hidup. hahaha—”

“—Ren, kenalin ini Anik. Sodara gue dari perbatasan Amerika a.k.a Bandung. Dan Nik, ini temen gue yang paling gesrek dan pedenya tingkat kecambah—Rendy”, lanjut Septi. Rendy dan Anik saling berjabat tangan; dan—tangannya Anik tidak mau lepas. Mungkin kena lem.

Rendy berdehem, “Ehem, sorry tangannya”. Anik kaget dan baru menyadari tangannya masih memegang tangan Rendy. Lalu ia segera melepaskannya.

“Ma.. maaf”. Bola mata Rendy berwarna coklat dan hidungnya mancung, mirip banget sama gue. Batin Anik. Apa mungkin dia— ahh.. gak mungkin mungkin.

Selalu Tentang KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang