Satu

233 9 0
                                    

Sore yang indah. Aku berdiri menatap langit yang menampilkan semburat senja. Senja yang sederhana, yang tidak pernah mengeluh meski kehadirannya hanya sekejap. Dinikmati sejenak untuk kemudian dikenang, dan dirindukan kehadirannya untuk esok hari. Aku mencintai senja, seperti saat aku mencintai pria tampan itu. Aku pertama kali bertemu dengannya saat senja. Dan juga kehilangannya saat senja. Tapi hingga sekarang, aku tetap mencintai senja meski mengenangnya terkadang membuat hati sesak.

***

Sore itu aku sedang membaca novel di depan rumah Bibiku. Libur semester yang telah lama kutunggu, untuk dua minggu akan kuhabiskan di kota kedua yang paling kurindukan setelah kota kelahiranku. Aku memasang headphone di telinga, mengalun lembut suara Avril Lavigne, penyanyi favoritku. Tiba-tiba sebuah bola basket melayang mengenai kepalaku. Aku refleks menoleh. Kutemukan sosok laki-laki tinggi sedang berkacak pinggang di depan pagar. Ia menatapku sebal, mengacungkan jarinya ke arah telingaku. Aku menarik headphone dengan kasar, dan balas menatapnya.

"Woi, bukain ini buruan!" teriaknya.

Aku masih diam, mengelus puncak kepalaku yang terasa nyeri.
Siapa sih ini cowok, nggak punya sopan santun. Batinku.

"Tuli, ya? Bukain cepetan!" Teriaknya untuk kesekian kali.

Aku bangkit, mengambil kunci di dalam rumah untuk kemudian kembali ke luar dan kulemparkan ke arahnya. Aku mengambil novel dan pindah ke ruang tamu. Tak lama kemudian, laki-laki itu masuk begitu saja dan duduk di sebelahku.

"Kamu Nara, kan?" Tanyanya dengan wajah tanpa dosa.

"Iya." Jawabku singkat, kemudian memalingkan muka.

Tanpa aba-aba, dia mengelus puncak kepalaku. Nyerinya masih terasa, tapi dia dengan lembut terus mengusapnya. Aku menoleh, memperhatikan wajahnya. Dia menatapku dalam, sampai wajahku terasa memanas. Aku menepis tangannya kasar.

"Sorry, ya, buat yang tadi. Salah siapa terlalu asyik sama dunianya sendiri." Ucapnya lembut, tidak semenyebalkan tadi.

Aku pura-pura tidak mendengarkannya seraya membolak-balikkan halaman novel.

"Jadi kamu nggak inget, ya, sama aku? Padahal dulu kita sering main bareng."

"Oh, ya? Kapan?" Jawabku sekenanya.

"Waktu kita masih umur 10 tahun, Ara."

Aku terperanjat dengan sebutannya barusan. Ara. Apa dia?

"Kamu, Albi?" Kini aku menatapnya, tepat pada bola matanya. Bola mata yang selalu kusukai dari dulu. Ada perasaan hangat yang menjalar di hatiku. Bagaimana bisa aku tidak mengenali laki-laki di depanku ini? Sedangkan dia dengan cepat mengenaliku. Dasar bodoh!

Bunga TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang