Empat

72 6 0
                                    

Nara POV

Jantungku hampir lepas dari tempatnya. Pangeran tampan. Iya, pangeran tampan yang terakhir kutemui ketika umurku 10 tahun. Usiaku masih sangat muda saat itu. Sekarang, aku menginjak ke masa remaja. Aku bisa merasakan bagaimana dadaku berdebar kencang hingga aku takut dia akan mendengarnya. Aku tahu ini berlebihan, tapi demi apapun aku speechless. Aku memang kembali ke tempat ini untuk menemuinya. Aku merasa bersalah karena setelah kejadian di taman komplek saat itu, aku pulang tanpa pamit. Aku langsung merengek pada Bibi agar mengantarku pulang segera. Aku malu karena sadar tingkahku kelawat batas. Aku tidak mendengarkan perkataannya. Aku bukan tipe gadis yang bandel, karena Mama dan Papa mengajarkan untuk selalu menurut pada perkataan orang-orang terdekat. Dan semenjak itu pula, aku tidak pernah sedikitpun melupakan pangeran tampanku. Aku rindu tapi tidak berani kembali. Hingga 5 tahun lamanya, kurang satu semester lagi, aku akan masuk ke jenjang SMA, berencana masuk ke sekolah yang sama dengannya. Dia sekarang berada di kelas 11, jika Mama dan Papa benar-benar menyetujui, aku akan jadi juniornya. Aku tidak sabar untuk melihatnya setiap hari setelah ini.

***

Aku baru bangun, ketika Kak Melly menerobos masuk ke kamarku. Dia meletakkan secarik kertas di hadapanku.

"Dari Pangeran Tampanmu, Ra. Ciye, cinta monyet jadi cinta pertama." Dia tertawa menggoda. Aku bersiap mencubit lengannya, tapi ia lebih dulu kabur.

"Princess Ara, masih ngambek? Hari ini jalan-jalan, yuk. Janji deh bakalan buat moodnya balik ceria lagi. Tunggu di taman komplek jam 9, ya. - Pangeran Tampan"

Aku tersenyum, melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 8. Sepertinya aku berubah jadi puteri tidur, bangun terlambat. Aku segera merapikan selimut, dan mandi.

***

Kota ini masih sama. Dingin. Aku menunggu Albi di bangku taman. Bahagia sekali, rasanya. Seperti beribu kupu-kupu sedang mengepakkan sayapnya di perutku.

"Selamat pagi, Princess." sapanya lembut.

Albi datang dengan setangkai bunga mawar merah. Ia terlihat tampan dengan kaos hitam polosnya. Entah kenapa, pria dengan kaos hitam polos selalu bertambah kadar ketampanannya.

"Pipimu makin chubby, ya, Ra." Ia mencubit pipiku gemas.

"Sakit tau, kak." rengekku.

"Masih sama. Manja banget." ledeknya.

"Aku nggak manja. Aku memang menggemaskan, kok." belaku.

Dia tertawa sebagai tanda persetujuannya atas ucapanku. Rasanya lama sekali aku tidak melihatnya, mendengar tawanya, bahkan menyentuhnya. Bolehkah aku memiliki waktu lebih banyak dengannya?

***

Albi POV

Aku memakaikan helm padanya. Dia masih sama, gadis ceria dengan senyumnya yang kelewat manis. Sepertinya aku bisa terkena penyakit diabetes.

"Kita mau kemana?" tanyanya, memegang pundakku.

"Keliling dunia, Ra." Aku sengaja membuatnya penasaran.

"Keliling dunia? Jangan bercanda." dia tertawa.

"Buatku, duniaku itu kamu, Ra."

Tawanya lenyap seketika. Aku meliriknya dari kaca spion. Wajahnya bersemu merah. Ia menundukkan kepalanya. Aku tersenyum tipis.

Hari ini aku mengajaknya berkeliling taman kota. Menggenggam tangannya erat, dengan balasannya yang tak kalah erat. Dia menghabiskan dua es krim dan kembang gula. Mungkin itu salah satu rahasianya, kenapa dia terlihat selalu manis. Aku benar-benar ingin menghabiskan waktu dengannya. Tidak cukup sehari, aku ingin berlama-lama melihatnya. Aku enggan mengalihkan pandangan dari senyumnya yang memabukkan. Aku ingin selalu ada di sisinya, menjaganya seperti janji masa kecil kami. Aku menyukainya sejak pertama kali bertemu. Semakin menggilainya saat jarak memisahkan. Dan kembali merasa hidup ketika ia kembali, di sisiku.

Bunga TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang