Dua

117 8 0
                                    

"Kamu lupa, ya?" tanyanya pelan, raut wajahnya menunjukkan kekecewaan.

"Eh? Enggak kok. Aku nggak lupa. Tapi, kamu beda sih." Aku berusaha memilih kata yang tepat.

"Beda maksudnya?" Ekspresi bingungnya lucu. Seperti dulu.

"Kamu makin ngeselin sih. Apaan coba pake lempar bola basket ke kepala. Sakit tau."

"Eh, iya maaf. Tadi itu nggak sengaja kena kepala. Maksudnya mau lempar ke depanmu aja biar kaget. Taunya nyasar ke kepala." Ia hanya cengengesan, menatapku memohon maaf.

"Nggak dimaafin." Kataku ketus.

"Nah kok gitu sih, Ra? Kita kan baru ketemu lagi. Emangnya kamu nggak kangen sama aku?"

Aku hanya diam. Iyalah aku kangen banget sama kamu, Bi. Kangen manja ke kamu. Ucapku dalam hati.

***

Albi POV

Gadis yang lama kurindukan ini datang kembali ke kotaku. Setelah 5 tahun lamanya, akhirnya dia kembali. Aku sangat merindukannya. Setiap hari aku tidak pernah melupakan namanya, wajahnya, bahkan suaranya. Dan kali ini, aku sudah cukup yakin dengan perasaanku. Perasaan yang bertumbuh sejak usiaku masih 12 tahun, dia 10 tahun. Gadis cantikku itu masih sama. Tatapan matanya yang lembut, pipinya yang chubby, senyumnya itu, ya Tuhan, manis sekali. Aku menyukainya sejak pertama kali bertemu.

***

Sore itu aku baru pulang dari berlatih basket di sekolah. Aku mengayuh sepedaku dengan lambat saat melewati rumah Bibi Alisa. Ada seseorang yang kutunggu sejak lama. Keponakan tetanggaku yang dulu sering kukunjungi untuk bermain bersama di taman komplek. Aku sempat terkejut saat melihatnya duduk di teras. Mungkinkah? Aku turun dari sepeda, mendekati pagar. Mungkinkah itu , Ara? Jantungku berdegup kencang. Kuamati wajahnya yang sedang serius membaca. Aku memanggilnya, namun ia tak kunjung menoleh. Apa itu bukan kamu, Ara? Aku terus memanggilnya, tapi tak kunjung ada jawaban. Dia menyibakkan rambutnya ke belakang, kulihat headphone menghias telinganya. Jadi dari tadi kamu gak denger gara-gara itu, Ra? Aku berusaha mencari cara agar dia mendengarku. Refleks saja kulempar bola basket di tanganku ke arahnya. Salah sasaran, mengenai kepalanya. Sial, pasti sakit. Bodoh kamu, Bi. Rutukku dalam hati. Dia terkejut, mengusap kepalanya dan menoleh ke arahku. Aku memberi isyarat agar dia membuka pagar. Tapi sepertinya dia sudah terlanjur sebal.

Aku buru-buru masuk dan duduk di sebelahnya, meminta maaf. Kulihat wajah cantiknya dari dekat. Ini bener-bener kamu, Ra. Ya Tuhan, aku rindu sekali. Kenapa kamu baru muncul sih? Aku mengusap kepalanya, menatapnya yang tengah kebingungan. Sepertinya dia lupa. Dia lupa padaku, orang yang dulu dengan riang dia panggil 'Pangeran Tampan'.

Bunga TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang