Adikkuuuuu!

68 1 0
                                    

Gue berlima.

Sebenernya berenam, tapi adek gue yang pertama udah dalam keadaan meninggal waktu dilahirkan. Kelilit tali pusar, katanya. Tapi dia punya nama: Rahmi. Gue tahu dia cewek manis yang udah bahagia di surga sekarang ini.

Berhenti bermelankolis.

Adek gue yang kedua: Lily.

Dia sehat, untungnya. Kelihatan kayak manusia bahagia yang gak direpotkan sama hal-hal gak berguna kayak gue. Misal: memikirkan masa depan atau apa (berhubung gue yang selalu diberondong harapan-harapan setinggi langit oleh ibu).

Lily punya pacar. Sementara gue, kayak yang lo tahu, enggak.

Dia juga punya semacam idola yang menginspirasi. Salah satu anggota EXO-K yang namanya ada 'nyol-nyol-nya' gitu. Oke. Chanyeol. Gue harus berhenti pura-pura gak tahu.

Adek cewek gue itu cantik, gue akui. Lagipula dia langsing dan punya kaki kayak cewek-cewek Korea. Pake kacamata juga. Dan kulitnya eksotis, Indonesia asli. 12 tahun. Gue 15. Jadi beda 3 tahun.

Orangnya spontan, kalem, dan terselubung. Gue deket banget sama dia. Kami gak punya perasaan iri atau apapun semacam itu. Karena hitungannya dia anak kedua, Lily jadi punya sikap bijak yang jarang gue 'tunjukkan' (itu berarti gue punya, tapi cuma terlihat dalam beberapa kasus aja).

Gue sering berantem sama dia, tapi kalau gue inget-inget sekarang, semuanya emang gara-gara gue suka nyari masalah.

Punya pola pikir yang kadang 'melantur' tapi kocak. Dia gak pernah bener-bener niat ngelawak, jadi kayak yang gue bilang, dia spontan.

Dan, selera musiknya aneh kuadrat. Lily suka denger musik-musik berisik gak bernada yang gak perlu gue sebutkan genre-nya. Yang paling parah, dia bisa seharian pake headset kalo gak dilarang. Pantes udah timbul gejala-gejala ke-budek-an dini padahal dia masih sangat muda.

Gue rasa dia cukup populer di sekolah, walaupun dia gak pernah bikin pernyataan gitu ke gue. Gini deh. Cewek cantik, pinter, lucu, gak kaku, dan 'kelihatan' kayak orang tajir, mana mungkin sih berakhir menyedihkan dengan gak punya temen untuk sekedar jalan bareng ke kantin?

Satu lagi: dia masuk kelas favorit. Di kelasnya gak ada satupun anak yang gak masuk sepuluh besar waktu kelas tujuh. Dia sendiri sempet jadi juara satu, walaupun terus turun jadi ranking dua di semester dua.

Kalo gak salah dia kelas 8.5

Gue sayang banget sama Lily, dan gak bisa ngebayangin gimana jadinya kalo tiba-tiba dia hilang ditelan bumi. Yang pasti, gak bakal ada yang nemenin gue kemana-mana lagi.

Bungsu: Hafiz.

Tadinya ayah sama ibu mau ngasih nama Reftian ke adek cowok gue itu. Tapi akhirnya gak jadi karena kakek-nenek gue tiba-tiba dapet hidayah berupa nama yang sungguh bermartabat waktu mereka lagi umroh ke Mekkah. Muhammad Hafiz Al haqi.

Sungguh nama yang indah dan penuh aura keislaman. 

Dia ganteng. Atau kalo menurut ibu gue, berkarisma.

Sebenernya mukanya biasa. Tapi mungkin karena Hafiz adek cowok gue satu-satunya, Hafiz jadi kelihatan ganteng luar biasa.

Umurnya sekarang enam. Masa dimana seorang manusia sedang ada dalam fase tengil paling menyebalkan, yang hampir-hampir gak tertahankan. 

Dia bahkan udah kenal 'cinta'---sungguh bukan anak polos yang menggemaskan.

Tapi dia berbakat. Di gambar, tepatnya. 

Hafiz hobi ngegambar idolanya: Spiderman. Dia gak pernah bilang mau jadi spiderman kayak yang anak-anak kecil lain mungkin bilang. Dia dewasa. Pola pikirnya sangat jauh kedepan. Dia mau jadi arsitek, meskipun gue gak yakin dia ngerti apa artinya 'arsitek'.

Barangkali karena dia hobi membangun gedung-gedung yang kreatif luar biasa dengan mainan favoritnya: lego.

Ngomong-ngomong soal mainan, Hafiz ini super konsumtif. Dia gak bisa kalo gak beli mainan baru seenggaknya tiga kali seminggu. Mau mainan bagus puluhan ribu, atau mainan sampah yang seribuan, pokoknya beli mainan.

Hafiz juga punya badan yang proporsional untuk ukuran anak seumuran dia. Dan itu tambah bikin adek gue ganteng di mata gue. 

Gue sayang dia, mungkin karena dia refleksi kepribadian masa kecil gue.

Menurut ibu, kami sama. Pinang yang dibelah dua. Bukan soal fisik, pastinya. Tapi soal sikap dan tingkah laku. Kayak yang gue bilang, refleksi kepribadian masa kecil.

Gue gak percaya. Tapi itu fakta. Kalo membantah, gue kayak menentang logika.

Bukan apa-apa. Gue cuma gak percaya kalo gue pernah jadi manusia super ngeselin waktu masih kecil. 

I'm MelatiWhere stories live. Discover now