School Part 1

28 0 1
                                    

Sekolah gue biasa. Itu yang gue nyatakan sebelumnya.

Tapi mungkin gak juga.

Mungkin sekolah gue luar biasa.

Mungkin.

Gue sekolah di salah satu sekolah terbaik di kota. Kenyataan gak diduga-duga ini bikin gue merasa rendah diri sebelumnya. Sebelum gue bisa menerima kenyataan kalau tiap orang pasti akan kecemplung di kolam yang lebih besar. Dari waktu ke waktu. Entah kapan.

Gue gak merasa rendah diri lagi, sekarang.

Gue udah berhasil menerima kenyataan.

Gue tahu anak-anak golongan 'pintar' di SMA mungkin belum apa-apa dibanding anak-anak 'pintar' di kampus entar, berhubung gue punya cita-cita mau masuk ITB.

Gue sadar status gue yang sekarang: rata-rata.

Gak ada alasan untuk bohong, jadi gue bakal ngaku kalau menerima status itu sungguh adalah suatu proses panjang yang melibatkan banyak pemikiran-pemikiran melelahkan.

Gue gandrung sama pengakuan.

Gue bintang.

Dulu. Sebelum masuk SMA.

Jadi memulai semuanya dari awal, dan lebih-lebih gak menyandang status lama (baca: bintang), dan cenderung melabeli diri dengan status tanpa pengakuan (baca: pecundang), sempet bikin gue tertekan.

Gue gak di-bully.

Dan kayaknya juga gak dijauhi.

Tapi awal-awal masuk SMA dulu gue sampe agak-agak stres gara-gara gak bisa berbaur sama yang lainnya. Seolah ada dinding tinggiiiiii banget yang membatasi gue sama mereka. Temen-temen sekelas gue, terutama.

Gue merasa terkucil.

Sendirian.

Dan yang paling parah, ekspresi muka gue mendukung itu semua.

Gue belum cerita ya kalau gue punya muka yang entah kenapa selalu merengut dan gak enak diliat di tiap kesempatan? Judes bahasa gampangnya. Nyolot bahasa kasarnya. Dan, mengintimidasi.

Yang terakhir itu cuma perkiraan.

Tapi gimanapun juga, dengan ekspresi muka kayak gitu, ditambah sikap yang selalu kelihatan serba salah, plus gak ramah, gue merasa semua orang menjauhi gue. Merasa.

Gue gak bisa bersikap, itu hal pertama yang gue sadari di hari pertama masuk SMA. Semuanya keliatan beda. Perasaan-perasaan buruk macem pesimis dan gak percaya diri akut muncul tiba-tiba. Hampir-hampir tanpa alasan yang jelas.

Gue gak ngerti kenapa. 

Tiap hari rasanya gue selalu memikirkan gimana gue di mata orang-orang.

Gue kikuk.

Dan,

Jadiin novel sebagai tameng.

Gue selalu merasa iri sama mereka yang bisa bersikap. Yang gak pernah keliatan kaku. Gak pernah keliatan salah tingkah. Gak pernah kikuk.

Seolah-olah semua gerak-geriknya udah direncanakan Tuhan, tapi disaat yang sama juga keliatan bebas.

Intinya, mereka nyaman dengan keadaan mereka.

Nyaman sama diri sendiri.

Dan, lepas.

Mereka-mereka ini enak diliat.

Bikin iri. 

Sekilas, bikin gue mau bertukar kehidupan. 

Anak populer, itu maksudnya.

Bohong kalau di sekolah lo gak ada anak populer yang bergerombol jadi satu untuk selanjutnya menyebarkan aura-aura keengganan berteman yang 'agak' mengintimidasi tapi sayangnya, mendominasi.

Mereka ada.

Dan ini bukan cuma fiksi belaka.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 27, 2013 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

I'm MelatiWhere stories live. Discover now