Sungguh, kali ini aku merasa ada yang berbeda dengan diriku. Aku menatap cermin lama sekali, hingga Ibu mengingatkanku jika aku menatap diriku lebih lama disana, aku bisa gila. Aku segera mengambil sweater dan bekal siangku. Aku berjalan ke depan, dimana biasanya Ayahku menungguku di dalam mobilnya. Mobil Ayah memang bukan mobil yang mahal, seperti mobil-mobil kebanyakan teman-temanku, namun bagiku jika mobil itu bisa mengantarku kemana pun tepat waktu tanpa masalah mesin dan lainnya, bagiku sudah cukup.
Mobil itu berwarna keperakan di bawah sinar matahari pagi. Seluruh bagiannya mengkilap dan bersih—kurasa Ayah baru saja membersihkannya. Bagian belakangnya lecet—ada beberapa goresan yang menghiasinya. Ada noda oli di sekitar roda belakang. Di samping semua itu, mobil Ayah kelihatan seperti baru dan siap untuk berangkat.
Tapi ada yang aneh dengan mobil itu kali ini.
Ada satu hal yang kurang. Ayah tidak ada di dalamnya. Aku memanggil-manggil Ayah dan mencarinya. Ternyata, Ayah sedang duduk santai di ruang tengah, menyantap bubur pagi dan kopi panas dengan tenang. "Ayah?" kataku. "Oh, selamat pagi, Sayang. Kau tidak berangkat sekolah?" tanya Ayah. "Aku menunggu Ayah di depan. Kukira Ayah sudah duduk di mobil, seperti biasa." Kataku.
"Ah, Ayah tidak mengantarmu ke sekolah hari ini." Kata Ayah. Aku memasang raut wajah tidak percaya. "Ayah sebelumnya ingin bersiap mengantarmu, tapi ada seorang anak datang dan mengatakan bahwa ia menjemputmu kemari. Dia juga mengatakan bahwa ia teman sekelasmu."
"Reene, ada yang ingin bertemu denganmu, namanya—" kata Ibu dari beranda depan.
"James?" Kataku. "Ternyata kau sudah mengenalnya? Baiklah, kalau begitu cepatlah bergegas. Bus sekolah tidak akan menunggu kalian lama-lama." Kata Ayah. Aku tidak tahu harus berkata apa pada Ayah. Aku pun berjalan dengan langkah ragu. Aku mencoba untuk tersenyum pada Ibu saat sampai di beranda. "Nah, akhirnya kau datang, Sayang." Ibu membelai rambutku. James berdiri di ambang pintu, terdiam sambil mencoba tersenyum padaku. Rambutnya amat rapi—jauh berbeda saat kemarin di sekolah—memakai seragam yang sama denganku. Jas almamaternya berwarna senada dengan celananya. Sinar mentari pagi menyinari rambutnya, sehingga aku bisa melihat warna coklat muda di sana.
"James sudah menunggumu dari tadi. Darimana saja kau? Kau sudah membawa sarapanmu?" kata Ibu. "Aku mencari sesuatu, Bu. Dan sekarang aku sudah siap untuk berangkat." Kataku. Aku tidak mendengar pertanyaan terakhir yang Ibu tanyakan. Namun, aku memilih untuk mengabaikannya. "Baiklah, kalau begitu segeralah bergegas. Ibu tidak ingin kalian berdua sampai terlambat dan dihukum." Kata Ibu. Ibu mencium keningku, dan melambaikan tangan saat aku dan James mulai berjalan keluar.
***
"Ibumu baik sekali ya." Kata James sambil memasukkan tangannya ke saku celana. "Ternyata itu menular padamu. Kau sama baik dengannya." Komentarnya lagi. "Kau tahu, aku sedang mempertimbangkan apa kau sedang memujiku atau kau sedang berusaha menertawakanku." James tertawa, dan berkata,
"Kurasa aku sedang melakukan keduanya."
Jalanan ramai, dipenuhi lalu-lalang kendaraan yang melintas dan orang-orang yang berjalan kaki. Suara klakson berbunyi sesekali. Angin mulai menderu ketika kami melewati taman bermain kota. Kami melewati toko Roti Claire, toko roti yang terkenal di kota. Aroma roti panggang di pagi hari membuatku ingat bahwa aku lupa membawa sarapanku. Perutku berbunyi-bunyi ria. Secara otomatis aku memegang perutku, dan James menarikku untuk masuk ke dalam toko roti. Aku membeli roti isi coklat dan teh panas. James membeli sandwich tuna dan espresso. Aku bertanya mengapa ia membeli espresso, bukannya coklat panas atau teh, namun James hanya mengajakku keluar toko dan memberitahuku bahwa ia akan menjelaskannya nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rafree
RomanceOrang berkata takdir adalah apa yang di depan mata. Tapi, bagaimana jika takdir yang sebenarnya..adalah yang tidak terlihat? Renee memang anak biasa. Tidak ada yang istimewa darinya hingga suatu hari dua cowok tampan datang dan mengubah hidupnya. Ha...