"Ayolah, jangan buru-buru seperti itu!"
Aku mencoba melepaskan tanganku dari genggaman Dean. Genggamannya erat sekali sampai buku-buku tanganku berubah putih. "Maaf," katanya sambil melihat tanganku yang berubah warna menjadi pucat. "aku hanya terlalu bersemangat." Aku melepaskan tanganku dan mulai berjalan biasa di belakang Dean. "Oke," kataku sambil mengusap-ngusap pergelangan tanganku. "Jadi, peraturan pertama untuk belajar denganku : Jangan pernah menarikku lagi." kataku. Dean hanya mengangguk, senyum jahil terlukis di bibirnya. Aku menyadari bahwa Dean sedang berusaha untuk bercanda denganku--dengan wajah itu--namun aku langsung membuang muka. "Aku sedang bicara serius, Dean. Jangan buat aku mengurungkan niatku karena kau menganggapku tidak serius." Dean hanya tertawa kecil, lalu tiba-tiba ia mengacak-acak rambutku.
"Hei, jangan ambil segala sesuatu terlalu serius, Ree. Kau bisa gila nanti."
Aku membenarkan rambutku yang berantakan. "Peraturan kedua : Dilarang mengacak-acak rambut." ucapku. Setelah aku mengatakannya, Dean hanya diam, cengiran aneh mewarnai wajahnya. "Kau benar-benar serius ya? Apa akan ada hukuman jika aku melakukan--" ia kembali mengacak-acak rambutku, alhasil membuat rambutku seperti rambut singa saat aku bangun pagi. "ini?" katanya. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, menyipitkan mataku padanya saat aku bicara dan menatap matanya langsung. "Aku benci jika seseorang seenaknya melakukan hal yang seperti itu." ujarku, membuat Dean diam terpaku. Aku ingin membuatnya tahu bahwa aku tidak suka dipermainkan seperti itu, kataku dalam hati.
Ya, aku harus marah padanya.
"Sekarang, terserah kau apa yang mau kau lakukan, tapi aku tidak suka kau seenaknya melakukan sesuatu pada orang lain. Jangan karena wajahmu yang tampan itu kau berpikir bisa seenaknya melakukan apa yang kau inginkan."
Kali ini Dean benar-benar diam, senyuman hilang dari bibirnya yang berubah pucat.
Entah mengapa aku tidak peduli apa yang Dean rasakan saat itu, dan kakiku melangkah meninggalkan Dean di belakangku.
Aku tidak peduli.
Jika ia bisa mempermainkanku, aku akan mempermainkannya juga.
Tak lama kemudian, rasa bersalah muncul dalam hatiku. Aku tahu Dean hanya bercanda, namun entah apa yang kupikirkan apa yang Dean lakukan tadi terlalu berlebihan untuk seseorang yang baru aku kenal dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Aku menolak gagasan bahwa aku harus berbalik dan meminta maaf padanya, namun rasa bersalahku semakin besar. Aku pun membalikkan badanku ketika aku menemukan diriku berhadapan dengan Dean, wajah kami hanya berjarak beberapa senti.
"Hei, kau boleh marah padaku. Tapi jangan tinggalkan aku sendiri seperti tadi, ya?" kata Dean, wajahnya menyiratkan rasa sesal. Aku hanya diam, menunggunya untuk bicara lebih banyak. "Baiklah, jika kau tidak suka aku seperti itu, aku berjanji tidak akan melakukannya lagi. Sebelumnya aku tidak tahu kau tidak suka diperlakukan seperti itu. Kumohon, jangan marah ya?" pintanya, pupil matanya melebar tepat di hadapanku.
Aku menghela napas, "Baiklah." kataku. "Maafkan aku juga, ya? Kurasa aku berlebihan tadi." Dean menggapai tanganku, lalu menggenggamnya pelan. "Ah, tidak usah khawatir. Kalau kau tidak suka, kau pantas melakukannya." katanya. Dean menyelipkan jari-jarinya ke telapak tanganku, membuat pipiku panas seperti oven.
"Kalau begitu, sebagai permintaan maaf, bolehkan aku yang jalan di depan?"
Aku hanya mengikutinya tanpa menjawab. Terlalu banyak yang harus kukatakan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rafree
RomanceOrang berkata takdir adalah apa yang di depan mata. Tapi, bagaimana jika takdir yang sebenarnya..adalah yang tidak terlihat? Renee memang anak biasa. Tidak ada yang istimewa darinya hingga suatu hari dua cowok tampan datang dan mengubah hidupnya. Ha...