Rena mendesakku untuk ikut bersamanya siang itu. Matahari bersinar terik dan membuat tanah terasa panas. Keringat mengucur di dahiku, dan Rena tetap menarik tanganku. Setiap kali aku bertanya hendak kemana, jawabannya hanya, "Kau ini banyak tanya. Sudah ikut saja!"
Kakiku terus berderap mengikuti Rena, melewati koridor dan loker di kelas, menuruni tangga, lalu berjalan melewati kerumunan anak-anak cheerleader yang norak. Akhirnya, kami pun sampai di taman belakang sekolah. Taman itu sangat rapi dan bersih, juga sepi. Aku dan teman-temanku sering kemari jika ada pekerjaan kelompok yang harus kami selesaikan. Rena berdiri dekat pintu kayu terdekat dan berkata, "Nah, sekarang kau masuk dan duduk di bangku taman itu ya. Jangan kemana-mana lagi." Perintahnya. Rena hendak melangkah pergi ketika aku menghentikannya. "Tunggu," kataku sambil mengatur napas. "Kau menarikku kemari, menuruni tangga, dan melewati koridor penuh anak-anak cheerleader dengan tutu hanya untuk duduk disana? Sendirian?" jelasku.
Rena meremas tanganku. "Sudah, duduk saja disana. Lagipula sebentar lagi akan ada seseorang yang datang. Duduk yang manis dan tunggu saja, ya," Rena melepaskan tanganku dan langsung pergi meninggalkanku. Sebenarnya, apa yang akan dia lakukan? Ia pasti mengerjaiku, pikirku.
Ah, tidak, tidak.
Tidak mungkin Rena mengerjaiku seniat itu. Sampai keliling sekolah? Yang benar saja.
Aku pun melewati pintu kayu menuju taman belakang. Sebuah bangku kayu reyot di bawah pohon yang tinggi dan lebat terlihat kosong dan sepi. Daun-daun kering berserakan di atasnya, membuat bangku tersebut tampak menyedihkan. Aku memutuskan untuk berdiri sebentar di dekat pintu. Aku menggumam, membayangkan apa yang sebenarnya Rena lakukan. Atau siapa yang dikatakannya akan datang.
Tumitku akhirnya memaksaku untuk duduk. Sinar matahari masih terasa terik, membakar kulitku perlahan. Bodoh sekali, umpatku. Kau memercayai temanmu hanya untuk dijemur di bawah sinar matahari. Hebat.
Tiba-tiba, seseorang membuka pintu. Anak itu berjalan perlahan, salah satu tangannya ditaruh di belakang. Tunggu, aku kenal anak itu, kataku. Rambut ditata keatas, kulit putih bersih, dan senyum paling menawan sejagat raya (itu yang dikatakan anak-anak cheerleader). Mata coklat gelapnya menatapku, dan entah mengapa kakiku terasa lemas.
"Hei Ree," sapa Dean. Ia terlihat rapi tanpa sedikitpun lipatan. Dasi melengkapi seragam putihnya. Pin Ketua Persatuan Pelajar tertempel di bagian saku jasnya. "Hari yang indah." Celetuknya lagi. Aku hanya mengangguk mengiyakan. "Oh iya, aku punya sesuatu untukmu." Dean memberikan sebuah kotak berukuran sedang berwarna biru laut padaku. "Kudengar kau suka warna biru. Kuharap kau juga akan suka isinya."
"Terimakasih, Dean. Tapi kau tak harus repot-repot memberikanku sesuatu seperti ini. Hari ini bahkan bukan hari ulang tahunku." Ujarku. Dean hanya memerhatikan kotak biru tersebut sambil berkata, "Sudah, buka saja. Lagipula aku memang sengaja ingin memberikanmu sesuatu." Akhirnya aku pun membuka kotak tersebut.
Di dalamnya, terdapat banyak lipatan kertas seperti surat dengan hiasan-hiasan unik. Bunga kecil tersimpan di bagian samping kotak tersebut—bunga berwarna putih dan merah berukuran sedang sebesar kotak tersebut. "Wah," kataku. "Ini benar-benar manis." Ujarku. "Bukan hanya itu saja," timpal Dean. Ia mengeluarkan semua lipatan kertas yang berada di atas dasar kotak tersebut. Setelah mengeluarkan semua kertasnya, aku menyadari itu bukanlah dasar kotak hadiah, melainkan sebuah buku novel yang kuinginkan belakangan ini. "Buku ini.." kataku sambil mengeluarkan buku tersebut. Buku novel itu lumayan tebal dengan sampul buku berwarna coklat. Di sampulnya, Dean menuliskan 'Semoga kau menyukainya!' lengkap dengan pita merah.
"A-aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Buku ini sudah lama ingin kubeli, tapi aku masih menabung untuk membelinya. Dan sekarang kau memberikannya padaku. Aku—aku sangat berterimakasih atas semua ini." Kataku. Dean tersenyum lebar, giginya berseri-seri. "Sama-sama. Aku turut senang kau menyukainya." Jawabnya. "Darimana kau tahu aku menginginkan buku ini?" Dean mengetuk-ngetuk kakinya. "Yah, sebenarnya aku hanya menebak-nebak. Aku tahu kau senang membaca novel, dan aku memilih novel itu karena isinya menarik menurutku." "Kalau begitu tebakanmu tepat kali ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rafree
RomanceOrang berkata takdir adalah apa yang di depan mata. Tapi, bagaimana jika takdir yang sebenarnya..adalah yang tidak terlihat? Renee memang anak biasa. Tidak ada yang istimewa darinya hingga suatu hari dua cowok tampan datang dan mengubah hidupnya. Ha...