1

114 9 5
                                    

Mereka panik, namun berusaha untuk tetap tenang dalam proses memulihkan kesehatan para anggotanya kembali. Ini kali pertama seperempat dari populasi mereka menderita demam dengan suhu tubuh diatas 38.5°C.

Persediaan obat sudah tidak bisa dikonsumsi karena jumlahnya jauh lebih sedikit daripada jumlah anggota yang sakit. Hal lain, hujan lebat sedang menghantam pemukiman mereka disertai dengan guntur dan kilat yang saling bersahutan sehingga tidak memungkinkan untuk keluar kecuali menunggu hujan mereda.

Sasqia memeras pelan lap yang baru saja dibasuh dengan air bersuhu normal. Kemudian, ia menaruh lap basuh itu ke permukaan kening Jessita yang sedang terbaring.

Haifa, Aver, Nita, dan Aya juga melakukan hal yang sama dengan Sasqia. Mereka menangani enam orang sekaligus—Jessita, Lintang, Anna, Rifdah, Bella, dan Meity. Mereka belum diberi obat dosis, hanya baru dibasuh oleh kelima anggotanya yang lain.

"Kak Icih posisinya mantap banget," sungut Haifa yang bertugas untuk mengompres Meity. Namun elitnya, ia tertidur memojok ke sisi ruangan, sehingga menyulitkan Haifa untuk memberi kompresan padanya.

"Itu, tuh, Lintang aja kompresin," suruh Aver sambil menunjuk Lintang yang sedang terbaring dengan tangan kirinya yang menutup sebagian wajahnya.

Aya terkekeh. "Sumpah, tidurnya pada pules-pules banget."

TOK TOK TOK.

Tiba-tiba pintu diketuk.

Hal tersebut membuyarkan fokus mereka yang sedang menjadi dokter dadakan siang ini.

Sasqia pun memberi isyarat pada Nita untuk mengecek siapakah yang datang dikala hujan lebat seperti ini, sembari tangannya membalik kompresan pada kening Jessita.

Nita berjalan menuju pintu utama yang berwarna putih tulang itu. Tanpa aba-aba ia langsung membuka pintu, dan menemukan sebuah kejutan di baliknya.

"Kasas," panggil Nita dari ambang pintu pada Sasqia yang berada di kamar nomor dua.

Sasqia yang mendengar panggilan Nita, menyerahkan tugas kompres-pengompresannya agar tetap konstan berusaha untuk menurunkan suhu tubuh para pasien.

Sasqia berjalan dengan pelan menuju tempat dimana Nita berada. Sama halnya dengan Nita, Sasqia pun merasa terkejut kala mengetahui siapa yang datang siang ini.

Nita melirik Sasqia, sedangkan Sasqia mengangguk tanda mengerti. "Masuk."

"Kok kusut amat?" Celetuk Ilham yang berdiri paling depan sambil menggiring keempat kawanannya masuk—Paul, Ran, Arfi, dan Ichan.

"Nggak," balas Sasqia dingin.

Mereka yang baru sampai langsung dibuat bingung oleh orang yang biasanya ramai, namun tidak dengan hari ini.

Mereka pun duduk bersila dan membentuk lingkaran di ruang keluarga, seperti rutinitas mingguan.

"Gimana kabar?" sapa salah satu dari mereka sembari melepas topi dari kepalanya—Paul, berusaha untuk mengusir kecanggungan.

"Makin rapi, ya, semenjak kita tinggal," tambah salah satunya yang memiliki postur tubuh tinggi—Arfi.

Sasqia dan Nita masih bergeming di posisi masing-masing. Hanya ada dehaman-dehaman, karena tak tahu akan secepat ini. Hingga akhirnya, Aya dan Aver keluar dari kamar nomor dua.

Sebuah kejutan berada tepat di hadapan mereka sekarang.
Meskipun terkejut, mereka menangkap layaknya tatapan ketidaksukaan wajah-wajah yang santai dan serasa tak berdosa itu, berimbas pada emosi yang sebentar lagi akan meledak.

Namun, Sasqia yang menyadarinya mengisyaratkan untuk menundanya sampai waktu yang tepat.

Nita menepuk-nepuk sisi karpet yang kosong di sebelahnya, agar Aya dan Aver mengambil duduk disana.

"Duo A, kangen nggak sama gue?" Ran yang duduk tepat di hadapan Aya memberi sebuah sapaan.

"Nggak us—," belum sempat menyelesaikannya, lidah Aver yang sudah sangat gatal memotongnya.

"Ngapain lo semua kesini? Balik karena udah nggak punya modal buat hidup misah?" Aver menginterupsi Aya yang tadinya ingin membalas lontaran Paul.

Mereka sontak terperangah ketika Aver berkata demikian. Sebuah tanda tanya muncul di benak mereka masing-masing, apa ada yang salah?

Termasuk Sasqia dan Nita, yang sama-sama ikut membelalak atas perkataan Aver barusan.

Other Side [AHAWFest]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang