"Maksud lo apa?" Paul mengambil alih sembari menutup resleting ranselnya yang terbuka.
"Nggak usah pura-pura, nggak guna," decih Aver sembari bangun dari posisi duduk bersilanya.
Tanpa ada perlawanan, Aver masuk kembali ke dalam kamar yang sebelumnya ia tempati agar emosinya tak semakin menjadi.
"Dikasih makan apa, itu anak? Kok ngocol," imbuhnya lagi sambil geleng-geleng kepala.
Nita angkat suara. "Lo semua pergi sesuka hati, sementara yang disini apa kabar? Bahkan lo nggak tau 'kan ada enam orang yang lagi demam tinggi diwaktu yang sama?"
"Lah," komentar Ichan. "Emang selama apa, sih, kita pergi? Apa sepuluh hari tanpa kita termasuk hari yang berat?"
Aya mendelik. "Liat, nggak ada pedulinya sama sekali."
"Nih, ya, waktu itu kita minta izin buat keluar semingguan, kalian ngizinin. Kalo nggak ngizinin, ya, bilang dari awal," jelas Ilham, suaranya meninggi.
"Ya, kita mana tau bakal ada yang demam tinggi? Enam orang sekaligus, pula. Semingguan? Hampir dua minggu, malah," ceplos Nita yang tidak setuju dengan penjelasan Ilham.
"Dihubungin berkali, nggak ada yang angkat, kalian sebenernya ngapain, sih?" Sambar Aya dengan kerutan di keningnya.
"Ay, Nit," gumam Sasqia pelan. Hatinya mulai bergemuruh, namun ia harus menahan sampai waktu yang tepat.
"Trus maksudnya Aver tadi apa? Kita juga udah bilang bakal balik hari ini, kenapa dia nyolot gitu?" Tanya Ran sambil melempar ranselnya ke sofa belakang.
Aya, Sasqia, dan Nita membisu.
Disaat yang sama, Fadya dan Syifa keluar dari kamar nomor tiga dengan langkah ringan menuju dapur. Meskipun mereka melihat keberadaan anggota yang sedang duduk melingkar dengan raut wajah yang mulai berubah menjadi merah, mereka dengan santainya melenggang menuju kulkas.
"Duh, sama aja," celetuk Aya yang mengalihfokuskan pandangan pada Fadya dan Syifa dengan suara cukup keras.
Fadya berbalik kasar, dan memberi Aya sebuah tatapan tajam. Aya tidak menanggapi lagi, ia membuang wajahnya ke sembarang arah.
"Ay, lo lagi nyari ribut apa gimana?" Tanya Paul sekali tebas.
Aya menggeleng, dengan mata yang membulat samar. "Ngapain?"
"Trus, intinya, kalian balik mau ngapain?" Tanya Sasqia dengan nada tenang.
Mereka semua mengerut. "Lah? Kita emang tinggal disini, bareng sama kalian. Kok aneh?"
"Trus apa kabar Kak Ervina, Kak Ramlah, sama Kak Dadi? Mereka bahkan pergi lebih lama dari kita, kenapa kalian nggak marah ke mereka?" Protes Ichan sambil mengangkat-angkat jarinya ke udara.
"Mereka masih ngasih kabar," tandas Sasqia. "Nggak kayak kalian, seneng-seneng tanpa kabar-kabar."
Hingga akhirnya, Fadya dan Syifa kembali melewati mereka dengan segenggam cemilan yang berada di tangan Syifa.
"Yang beli siapa, yang makan siapa. Kalo konteksnya gini, namanya apa, Kasas? Gadir? Apa gimana?" Sindir Nita tanpa menoleh sedikit pun ke arah Fadya dan Syifa.
Kesal, segenap makanan yang berada dalam genggaman Syifa, ia lemparkan tepat ke tubuh Nita yang jaraknya cukup dekat dengan mereka. "Tuh, nggak butuh."
Mata Nita membulat, kini ia berdiri. Sasqia mulai ikut memanas, Aya juga ikut memasang kuda-kuda. Sementara para laki-laki masih tidak mengerti.
"Kenapa kalian nggak pergi aja kalo ngerasa udah nggak cocok disini? Kayak mereka, 'kan hebat," tutur Sasqia yang akhirnya dapat mengeluarkan segenap kata-katanya.
"Lah, lah, apaan dibawa-bawa," komentar Ran tidak terima. Ia berdiri juga, disertai dengan keempat kawanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Other Side [AHAWFest]
Short Storyakan ada hikmah dibalik semua hal yang terjadi. rifdah hanandra ©2016