Saat keadaan mulai tegang, Haifa dan Aver keluar dari kamar. Mereka dikejutkan dengan posisi yang tengah menjadi sorotan di ruang keluarga ini. Saling berhadapan dengan kilatan emosi di tiap bolamata.
"Anjir kok jadi nyolot?" Aver lagi-lagi mengomel, kemudian menetap di samping Sasqia.
"Dia yang mulai duluan," kata Syifa sambil menunjuk Sasqia.
"Kok gue?" Sasqia tidak mau disalahkan, karena memang bukan Sasqia yang memulai, melainkan Aya.
"Maksud dari perkataan itu, ngusir kita, Kak?" Tanya Fadya dengan nada yang tidak sedap didengar.
"Aneh," tukas Ichan. "Gue nggak ngerti."
"Gini, ya, Fadya, Syifa. Vanessa sama Finka juga. Kalian dari kemaren-kemaren disini, kenapa kalian nggak sedikitpun ngeliat atau seenggaknya ngejenguk anggota yang lagi sakit? Tanpa izin, kalian keluar rumah gitu aja. Nggak megang kerjaan rumah, yang kalian lakuin cuma ngurung diri di kamar sambil makan makanan yang ada, padahal makanan itu bukan kalian yang beli, dimana letak simpati kalian?" Tutur Sasqia panjang lebar.
Mata Syifa menyipit. "Kasas yang bilang sendiri tiga hari lalu kalo kita mendingan nggak usah ngapa-ngapain."
Aver menepuk dahinya. "Ya, mikir dikit, lah! Jangan gadir-gadir amat."
Saat itu, Vanessa dan Finka pun keluar dari kamar nomor tiga. Kehadiran mereka sangat pas jika disandingkan dengan suasana yang menyelimuti saat ini.
"Nah, ada orangnya," sambut Aya sambil tersenyum masam.
"Berisik, ya, ampun," sewot Vanessa sambil mengusap telinganya.
"Nyadar, Van, nyadar," kata Haifa. "Lo tinggal disini berapa lama, sih? Berisik mah emang udah biasa, tapi sekarang, masalah ini nyangkut sama lo, dan mereka."
"Masalah apa, anjir?" Sungut Paul, mewakili teman-temannya yang juga belum paham kemana arah pembicaraan ini.
"Nggak akan selesai kalo dijabarin," ungkap Nita. "Kalian, pergi tanpa alasan, nggak ngasih kabar, dan nggak ada rasa peduli sama anggota. Dan kalian, nggak ada sedikitpun ngebantu gue maupun Kasas, Aver, Aya, dan Haifa yang lagu ngurus pasien. Seenggaknya, bersih-bersih rumah atau bantu beli obat."
Finka menyeletuk. "Nggak ada yang bilang, kita mana tau."
"Nggak perlu dibilang, udah gede. Peka, lah, sama keadaan sekitar," umpat Aver yang sudah sangat geram.
"Nggak usah teriak-teriak, 'kan bisa diomongin baik-baik," Tutur Vanessa dengan nada damai.
"Basi," umpat Haifa. "Kemana lo waktu kita duduk melingkar sambil saling cerita?"
"Nggak perlu ngegas, woi! Santai! Mikir, katanya ada yang sakit tapi malah teriak-teriak, apa guna?" Teriak Arfi yang sukses membuat suasana seketika hening.
Syifa menoleh. "Lo sendiri ngegas, Bang, ngaca."
Sasqia mengangkat tangannya. "Udah, gue nyerah. Capek, terserah lo semua mau ngapain. Mau pergi, silakan. Mau tinggal, silakan. Terserah, gue capek."
Sejurus kemudian, Sasqia masuk ke dalam kamar nomor dua, kembali menjenguk para pasien yang masih drop siang ini.
"Liat?" Haifa menunjuk ke arah sisa jejak Sasqia yang tidak tampak.
"Puas?" Imbuh Aver.
"Mau pergi lagi? Silakan, kita nggak ngelarang," Nita ikut-ikutan.
Mereka menyusul Sasqia yang sudah lebih dulu berada dalam kamar, sementara Aya masih bergeming di posisinya.
"We're done," pamit Aya yang kemudian masuk ke dalam kamar.
Sementara mereka yang masih di luar, kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Para perempuan membereskan sisa-sisa makanan yang tadi berantakan karena ulah mereka sendiri. Sedangkan para laki-laki membereskan ransel mereka, lagi. Mereka memutuskan untuk pergi dari sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Other Side [AHAWFest]
Short Storyakan ada hikmah dibalik semua hal yang terjadi. rifdah hanandra ©2016