Sayap Rembulan

757 39 15
                                    

Kutatap genangan air di tepian rakitku. Kulihat bayangan seorang laki-laki bujang pengangguran dengan rambut cepak dan kaus lusuh yang sudah dipakai berulang puluhan kali.

Jelek sekali rupa ambo ini. Cuma punya rakit rapuh nan reot yang kerjaannya hanya menunggu orang untuk menumpang.

Kutengok langit yang berubah jingga. Semburat ungu terlihat di kaki barat. Kemerlip bintang di angkasa mulai tampak. Burung-burung gereja berterbangan di atasku tuk pulang ke rumahnya masing-masing.

Baru tiga orang hari ini yang menumpang rakitku untuk memancing atau sekadar berjalan-jalan. Tiga lembar uang lima ribuan lecek sudah kusimpan rapi di saku celana. Lumayan. Cukup untuk membeli sebungkus nasi lauk dan kopi panas mengepul. Aku hendak pulang ke rumah ketika kulihat seorang gadis dengan balutan piyama tidur sedang menatap sendu ke arahku. Aku terkejut sampai hampir jatuh dari rakit ke dalam air sungai yang dingin.

Ku lihat gadis itu tertawa. "Aku bukan hantu."

"Boleh aku naik rakit? Cuma mau jalan-jalan melihat sungai," katanya lagi.

Aku segera mengiyakan. Siapa pula yang sampai hati menolak gadis ini untuk mengantarnya jalan-jalan sejenak naik rakit?

Gadis itu duduk diujung rakit. Salah satu jempol kakinya menyentuh dinginnya air sungai. Keheningan menyelimuti kami. Hanya kecipak air dan nyanyian jangkrik yang terdengar. Gadis itu diam membisu. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut manisnya.

"Abang senang mendayung rakit?", baru saja aku ingin memulai percakapan, gadis itu membuka suara.

"Eh--biasa aja sih."

"Serius? Hhm.. Mungkin karena abang tidak memahami sungai ini," gadis itu menunjuk air sungai yang bergelombang karena dayungku. "Kalau aku jadi abang, aku pasti senang."

"Um.. Ambo gak ngerti." Kugaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.

"Kalau aku jadi abang, aku senang melihat air sungai ini. Mereka bebas, bang. Bisa mengalir sesuka hati. Aku sangat ingin menjadi air. Biar bisa pergi jauh sampai ke Samudra Atlantik."

Aku hanya manggut-manggut sok mengerti. Aslinya? Pusing otakku memikirkan kalimatnya.

"Aku juga ingin jadi angin. Bisa berhembus kencang kemana pun aku mau."

"Kalo ambo, pingin jadi kupu-kupu." Kucoba tuk ikut masuk ke dalam dunia imajinasinya.

Gadis itu malah tertawa kecil. Ia berkata, "Kalau kupu-kupu gak bisa pergi kemana pun, abang. Mereka gak akan kuat terbang ke angkasa. Kalau aku lebih ingin punya sayap. Biar bisa terbang sendiri sampai ke bulan!"

Bulan. Mendengar kata itu, aku jadi termenung. Tanganku berhenti mendayung. Kulirik wajah gadis yang kini sedang menatapku. Wajahnya putih pucat bak rembulan yang berevolusi mengitari bumi. Bak rembulan yang saat ini mungkin sedang tersenyum menatap kami. Sorot matanya sendu seperti sedang menanggung beban yang memakan tenaga.

Kutanya gadis itu pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benakku, "Kau pingin merantau?"

Ia malah menundukkan kepala. 122 detik kira-kira ia menunduk, sampai tibalah saat dimana setetes air bening terjatuh ke atas celana tidurnya. Setetes air bening itu langsung meresap ke dalam jalinan-jalinan benang. Segera ia seka sungai kecil yang tiba-tiba terbentuk di kedua pipinya. Gadis rembulan itu melempar senyum padaku.

"Aku ingin jadi api, abang. Ingin kubakar segala hal yang tak kusukai di dunia ini. Aku ingin membakar hati."

Kutatap gadis itu terkejut. Kemudian ia memintaku untuk segera menepikan rakit. Cepat sekali ia menumpang. Kuturuti maunya. Ia memberiku selembar uang dua puluh ribu. Masih licin seperti baru diambil dari bank. Kuterima dengan tidak percaya. Selembut apakah hati gadis ini?

Ia pun melambaikan tangannya dan berjalan pergi. Kutatap punggungnya dari kejauhan. Kedua mataku terus bergerak mengikuti perpindahannya sampai gadis itu lenyap ditelan gelapnya malam. Kudo'akan dalam hati. Semoga rembulan itu mendapatkan sepasang sayap yang ia impikan.

-TAMAT-

CandramawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang