Hujan Aksara

190 18 1
                                    

Hujan. Mungkin bagi kalian, hujan identik dengan kesedihan, tangisan, patah hati, ataupun putus cinta. Tapi tidak. Bagi Lara, hujan adalah kawannya. Setiap ia melihat hujan, ia langsung berlari keluar istana dan membiarkan hujan membasahi gaunnya yang elok. Membiarkan hujan memeluknya erat dengan butir-butir air yang dingin dan menusuk kulit. Karena dengan hujan, Lara bisa melupakan sejenak rasa rindu yang sudah bertahun-tahun mendekam di hatinya. Rasa rindu akan seseorang yang kini berada jauh di bawah naungan langit Eropa.

"Tuan Putri, Ratu melarangmu pergi keluar istana ketika hujan tiba." Dib, pramuwisma istana itu sudah berdiri tepat di belakang Lara dengan sebuah payung berenda di tangannya. "Izinkan saya memayungimu, Putri."

"Tidak! Jangan payungi saya! Kau kembalilah." Lara berseru marah. "Katakan pada ibuku, aku baik-baik saja."

"Saya tidak bisa kembali tanpa Anda, Putri Lara."

"Saya tidak ingin masuk. Biarkan saya basah di sini sampai hujan reda."

"Tapi-"

"Diamlah atau saya adukan kau pada Ayah sebagai pengganggu."

Dib terdiam sejenak kemudian kembali berperi, "Pangeran Lincoln sudah tiba dari Eropa."

Mata Lara sontak melebar. Tiba-tiba jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Mulutnya sedikit bergetar kala ia berkata, "Lincoln? Di--Dimana dia?"

"Sedang menunggu di ruang keluarga bersama Raja dan Ratu."

Dengan gaunnya yang basah kuyup, Lara berlari kecil memasuki istana. Rasa senangnya sudah tak bisa dijelaskan lagi dengan kata-kata. Matanya berseri memancarkan kebahagiaan tiada tara. Sosok yang selama ini ia nantikan sudah duduk di sana. Sedang mengobrol santai dengan Raja dan Ratu.

"Lincoln!", seru Lara. Napasnya tertahan ketika laki-laki itu membalikkan tubuhnya.

"Lara Aksara! Astaga. Kamu sangat berbeda dari lima tahun yang lalu. Kamu lebih cantik, dan.. tinggi!" Suara bariton itu masih sama seperti yang dulu. Begitu juga sorot teduhnya. "Kamu apakan gaunmu sampai basah begitu, Lara?"

Lara tersenyum-senyum salah tingkah. "Bermain hujan."

"Memang begitu kebiasaannya. Ketika hujan turun, dia akan lari terbirit-birit bak dikejar manusia serigala keluar istana. Kemudian dia biarkan gaunnya itu basah karena hujan." Jelas Sang Ratu.

Lincoln tertawa. "Gantilah dulu gaunmu. Lalu ikut mengobrol bersama kami di sini."

Tanpa ba-bi-bu lagi, Lara langsung melesat ke kamarnya. Dipilihnya gaun yang paling menawan, paling elok. Perasaannya tak karuan. Hatinya membuncah saking senangnya.

"Ceritakan padaku apa yang kamu temui di Eropa?", tanya Lara sambil menangkupkan wajahnya dengan kedua tangan di atas meja.

"Banyak sekali. Aku bahkan mendapatkan kesempatan untuk melihat bunga tulip yang baru mekar di  musim semi seperti yang kau impikan."

"Benarkah? Ceritakan lagi yang lain!"

Lincoln memutar otaknya. Apa yang harus ia ceritakan pada gadis asli Indonesia ini? Kegiatannya di Eropa tidak ada yang benar-benar mengesankan. "Aku.. Aku bertemu seseorang."

"Siapa itu?"

"Dia bukan orang biasa. Bagiku.. dia spesial. Dan aku merasa, dia cocok denganku. Namanya Shara."

Lara terbelalak. Kepalanya menegak. Hatinya mencelos begitu saja ketika ia mendengar apa yang dikatakan oleh Lincoln barusan. Kata-kata itu sukses membuat hatinya bercempera. Tak karuan.

"Lain waktu, aku kenalkan dia padamu, Lara. Saat ini dia tidak bisa ikut bersamaku pulang ke Indonesia. Mungkin tahun depan?" Lincoln masih belum sadar akan perubahan mimik wajah Lara.

Lara masih bergeming. Tak tahu harus menjawab apa. Namun sebenarnya, hatinya sedang berbicara. Tak peduli Lincoln mendengarnya atau tidak.

Lincoln, lima tahun sudah aku bersabar menunggumu di sini. Berandai-andai akan apa yang sedang kau lakukan di sana. Bertanya-tanya apakah kau masih mengingat akan sosok aku, atau justru bertemu dengan sosok 'aku' yang lain. Dan kau tiba di sini hari ini. Setelah lima tahun. Setelah kau pergi tanpa mengabariku walau satu huruf pun. Hari ini. Di hari yang sendu nan syahdu dengan tangisan awan sebagai pengiringnya. Kau memberi tahuku akan gadis barumu itu. Kau ceritakan dia padaku tanpa merasa bersalah sedikit pun. Seolah memang sudah semestinya aku mengetahui hal itu.

"Lara? Kamu tak apa?" Kata-kata yang baru saja ia ukir itu langsung hilang begitu saja.

Lara menaikkan wajahnya. "Ya?"

"Kenapa diam saja?"

"Mm.." Lara menengok ke arah jendela. "Boleh aku keluar? Aku ingin bertemu hujan."

"Nanti kamu sakit kalau terus bermain hujan seperti itu," tegur Lincoln.

"Hujan tak pernah menyakitiku. Dia selalu memelukku erat. Oh ya, hujan juga tidak pernah pergi. Dia selalu kembali kapan pun dia mau. Hujan selalu diakhiri dengan pelangi. Bukan angin topan atau tornado. Jadi, biarkan aku berada di luar sampai hujan reda. Sampai nanti, Lincoln."

-TAMAT-

* pramuwisma : pelayan
   berperi : berkata, berucap
   bercempera : bercerai-berai

CandramawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang