Hiruk-pikuk kota Jakarta terpampang jelas di depan mata. Iris cokelatnya bergerak-gerak mencari sesuatu. Atau seseorang? Entah. Aku disini sebagai orang yang tak dianggap. Aku hanya seorang gadis kurang pergaulan yang baru pertama kali melihat dua orang yang saling mencinta. Namun juga saling mengelak.
Marinai nama gadis cantik itu. Masih gadis, masih muda. Kuberitahu warna rambutnya agar kau tidak bingung. Hitam. Pekat. Kuberitahu juga ukuran sepatunya. 36. Bisa kau simpulkan seperti apa rupanya? Ukuran tubuhnya? Bagus. Karena sekarang akan kulanjutkan kisahku.
SMA. Siapa yang tak kenal jenjang sekolah yang satu ini? Jenjang yang terkenal dengan halai-balai cintanya yang penuh klise dan drama. Tempat dimana dua hati menemukan satu sama lain, maupun tempat dimana dua hati saling melepas. Masa dimana seseorang turun IQ nya beberapa angka hanya karena cinta.
Ah.. Cinta. Satu kata penuh misteri. Satu kata penuh argumen. Satu kata penuh komplikasi. Jutaan orang bertanya-tanya, apa arti cinta yang sebenarnya? Jujur, aku sendiri tidak mengerti. Karena cinta adalah cinta itu sendiri. Senang kusamakan cinta dengan debu. Sama sama tak terlihat namun ada. Sama sama hanya dapat dirasa. Bedanya, debu memiliki pengertian. Partikel padat kecil yang melayang-layang di udara. Cinta? Beritahu aku kalau kau tahu pengertian sesungguhnya.
•••
Jakarta, 1999Hari itu Marinai pergi ke Baghdad seperti biasa. Pagi-pagi sekali ia sudah berada di ruangan 6 x 6 meter yang dipenuhi meja dan kursi. Ditatapnya papan tulis yang masih bersih dari tinta spidol. Mulutnya komat-kamit merapal sesuatu. Sepertinya ia sedang menghafal? Atau mengucap mantra? Kuharap ia bukan tukang sihir.
Tunggu. Aku melihat seseorang. Ya! Tak salah lagi! Laki-laki itu! Gaya sekali dia masuk kelas sambil mengulum permen karet.
Marinai tersenyum. "Berapa bungkus permen karet yang sudah kamu makan?"
"Hari ini jatahnya cuma tiga, Mar."
Marinai diam memperhatikan. Matanya tak berpindah sedikitpun dari wajah sang lepasan. Dipanggilnya anak itu, "Nandana.."
"Ya?"
"Gak apa. Cuma memastikan kamu bukan siluman."
"Kamu tahu Mar? Menurutku wajahmu bertambah geulis setiap hari. Aku suka matamu." Nandan mendudukkan dirinya dihadapan gadis bermata cokelat itu.
Marinai mengalihkan pandangannya. "Kamu sendiri yang bilang semuanya sudah tak sama lagi bukan?"
Nandan mengangguk. "Ku harap kamu bisa membuang jauh-jauh perasaan itu, Mar."
Bagaimana aku membuangnya kalau setiap hari kamu membuatku semakin jatuh?
"Ku harap juga begitu."Tidak tidak. Ada yang salah di sini. Mereka berdalih. Aku tahu kedua hati mereka tak setuju dengan apa yang mereka ucapkan. Hati mereka berkeriau. Kencang. Kencang sekali sampai hampir pecah telingaku. Hati mereka mengacau. Hendak beragumen.
"Gimana hubungan kamu dengan Halifa?" Marinai mencoba mengganti topik. Sayangnya ia keliru.
"Baik. Apa kabar kamu? Baik?"
"Baik."
"Sudah bisa melupakan?"
"Melupakan kamu?"
Nandan mengangguk.
Belum.
"Pasti! Kamu sendiri yang bilang jangan terus menerus meringkuk di dalam hati yang sama bukan? Aku selalu mengingatnya.""Baguslah. Aku senang mendengarnya."
Oh tidak. Hati mereka terus berkeriau. Aku khawatir pita suaranya akan putus. Sampai kusumpal telingaku dengan gulungan tisu.
Dapat kurasakan hati sang putra mulai menyerah. Sepertinya inilah saatnya. Inilah waktu yang tepat bagi mereka untuk saling mengaku. Ku harap begitu.
"Marinai.."
"Hm?"
"..."
Nandan? Kenapa malah kau tutup mulutmu? Astaga. Sebal aku melihatnya. Katakan saja. Kasihan hatimu terus berkeriau sejak tadi. Pusing kepalaku mendengarnya. Apa susahnya kau mengaku?
Astaga. Sudah 9/3 menit kau diam, Nandana. Kenapa kau masih mengelak? Aku tahu sebenarnya kau menyayanginya. Aku tahu betul bagaimana perasaanmu padanya. Tak usahlah kau pikirkan Halifa mu itu. Tak cocok dia denganmu.
"Nandana.."
"Hm?"
"Aku bingung."
"Bingung kenapa?"
Marinai menundukkan kepalanya. Entah apa yang sedang bergumul di dalam pikiran gadis itu, yang pasti aku tahu persis bagaimana isi hatinya. Hati kau merintih, Mar. Kasihan dia. Tak usahlah mengelak terus soal perasaan. Merugikan diri sendiri. Melelahkan.
Keduanya berbicara dalam diam. Keduanya saling beragumen. Dalam diam. Keduanya saling mengaku. Dalam diam. Keduanya saling mencinta. Dalam diam.
•••
Jakarta, 2005Asap dan debu menusuk hidung. Masker tipis berwarna hijau saja tak dapat mengatasinya. Marinai harus memakai sapu tangan tebal untuk melindungi hidungnya dari gas penyebab pencemaran udara itu. Sedari tadi matanya terus mencari sesuatu. Aku tahu jantungnya berdebar kencang. Entah siapa yang akan ia temui. Menurut firasatku, orang itu sangat penting untuk Marinai.
Seseorang dengan jaket kulit berwarna hitam berlari ke arahnya. Matanya berseri-seri. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar sampai ke telinga. Pemuda itu merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Menyambut Marinai yang langsung meringkuk ke dalam dekapannya.
"Apa kabar, Nandana?"
Aduhai. Sungguh indah kisah yang kuceritakan padamu ini, handai. Belasan film roman kutonton sudah, tapi tak ada yang seelok kisah Marinai dan Nandan. Ya.. Ya.. Tak kuceritakan detail kisahnya. Tapi kau masih mengerti bukan? Kau tahu maksudku? Bagus. Aku yakin, kau juga akan mendapat kesempatan untuk menyaksikan kisah dua hati yang saling menginginkan sepertiku ini. Walaupun berbeda detailnya, tapi pokoknya tetap sama. Sampai jumpa, handai. Jaga hatimu sebaik kau menjaga perasaannya.
-TAMAT-
* keriau : teriak, berteriak, teriakan
baghdad : tempat menimba ilmu (sekolah)
lepasan : mantan
handai : kawan, teman, sobat•••
a.n.
Haloo!! Heheheh.. iseng iseng bikin kumpulan cerpen niih.. Semoga suka ya! Baru pemula! Saran dan kritik sangat ditunggu kalau ada kesalahan penggunaan bahasa. Tetap tekan bintangnya yaa! Ditunggu juga comment nyaa!
Salam hangat,
Nasywa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Candramawa
Short StoryHitam dan putih. Bak sebuah kegelapan dan secercah cahaya. Pernahkah kau pikirkan bagaimana jadinya bila hitam bercampur dengan putih? Akankah itu menjadi abu-abu? Atau tetap hitam? Atau bahkan berubah putih? Tak ada yang tahu. Aku pun begitu. Sel...