Bandung,
11 Januari 2010Untuk kamu yang saat ini mungkin sedang menautkan kedua alis kala melihat sepucuk surat yang tergeletak di atas meja mu.
Hai. Aku bingung harus mengawali surat ini dengan ucapan seperti apa. Menanyakan kabar? Aku sudah tahu kau pasti, dan akan selalu baik-baik saja. Menanyakan kau ada dimana sekarang? Aku sudah tahu, bahkan dimana tempat kau menginap. Jadi, mungkin kata 'Hai' itu merupakan awalan yang lebih tepat untuk mengawali surat ini.
Seperti biasa, aku hanya di rumah. Dengan segelas kopi susu kesukaanku dan setoples biskuit cokelat. Meja belajarku juga masih penuh dengan kertas dan pulpen. Aku menulis semalaman dan entah mengapa ide ceritaku akhir-akhir ini susah sekali didapat. Maka dari itu aku memutuskan untuk menorehkan seluruh isi hatiku di selembar kertas ini. Agar aku lebih tenang. Aku akan jujur padamu tentang apa yang ku rasakan selama dua tahun tanpamu. Tak ada yang kututup-tutupi.
Seperti kata-kata mutiara semua orang, di setiap perjumpaan pasti ada sebuah perpisahan. Ribuan kali aku mendengar, dan membaca kalimat itu. Ribuan kali pula aku menggumamkan sumpah serapah padanya. Aku benci dengan kalimat itu. Kenapa? Karena aku tak suka dengan perpisahan. Kenapa harus ada sebuah perpisahan di hidup ini, Arjuna? Bisakah aku meminta pada Tuhan untuk menghapus sebuah perpisahan itu? Memusnahkan hal itu dari dunia ini selama-lamanya? Terserah kau kalau tidak setuju. Aku memang egois bukan?
Tak apa. Jangan kau pasang tampangmu yang tak enak itu. Aku tidak akan lagi membahas masa lalu. Aku hanya rindu padamu. Rindu akan gelak tawamu karena ocehanku, rindu akan mata sayumu yang selalu berhasil menyorotkan ketenangan, dan rindu akan kamu. Aku rindu akan segala hal tentang kamu.
Tak apa. Kau boleh marah sekarang. Karena ya, aku tahu. Aku tidak boleh rindu padamu, bahkan mengingat kamu. Tapi tolong bantu aku mencari sebuah panasea untuk menyembuhkan rasa rindu ini. Karena sungguh aku berani bersumpah, tak dapat sekali pun aku berhasil mengusir rindu dari ruang hatiku.
Tak apa. Jika kau ingin membuang jauh-jauh surat ini. Karena aku bahkan tidak mengerti mengapa ku tulis paragraf-paragraf tak penting ini dan mengirimkannya padamu. Asal kau tahu, hatiku sedang kosong. Ada sebuah lakuna besar nan lebar disana. Karena tadinya, di sanalah tempatmu.
Biarlah surat ini menjadi saksi bisu kerinduanku yang amat sangat akan kamu. Rasa sayangku, dan penantianku akan sosokmu.
Ah, aku sudah mulai ngawur. Sudah berapa banyak dawat yang kuhabiskan untuk menulis surat tak penting ini, Arjuna? Kau tahu kalau pulpen sedang mahal harganya bukan? Berapa harga pulpen di sana? Bisakah kau memberi tahuku? Tulislah jawabannya di surat balasanmu nanti.
Oh tidak tidak. Aku bahkan tak yakin kau akan mengirimkan surat balasan untukku. Mungkin pertanyaan itu akan kujawab sendiri nantinya.
Sudah. Aku hanya ingin menyampaikan kenestapaanku ini. Maaf kalau aku merusak hari indahmu dengan kehadiran surat ini. Maaf kalau aku menghabiskan waktu berhargamu untuk membaca surat ini. Maaf kalau aku menyita sebagian pikiranmu karena surat ini.
Sungguh, aku berharap dapat melihatmu sekali lagi. Walau hanya dalam satu kerjapan mata. Sekali lagi izinkan aku untuk mengatakan ini padamu.
Aku rindu, sangat rindu padamu, Arjuna.
Dari aku yang mungkin sudah kau lupakan sosoknya.
-TAMAT-
* panasea : obat bagi semua kesulitan
lakuna : bagian yang hilang, ruang kosong
dawat : tinta•••
a.n.
Pingin nulis, tapi gatau mau nulis apa. Pingin curhat, tapi bingung curhatnya gimana. Yaudah gini aja. Berubah jadi orang mellow sejenak gakpapalah ya? Hehe.. Makasih bagi yang udah baca cerita abal ku ini, jangan lupa selalu dukung aku dengan sebuah bintang dan comment yang membangkitkan semangat! Jadilah stimulan bagiku!
KAMU SEDANG MEMBACA
Candramawa
Short StoryHitam dan putih. Bak sebuah kegelapan dan secercah cahaya. Pernahkah kau pikirkan bagaimana jadinya bila hitam bercampur dengan putih? Akankah itu menjadi abu-abu? Atau tetap hitam? Atau bahkan berubah putih? Tak ada yang tahu. Aku pun begitu. Sel...