Teh Pahit Murai

115 11 0
                                    

Murai memandang lesu orang-orang yang berlalu-lalang di depan rumahnya.

Sungguh, mereka terlalu sibuk dengan dunia dan segala isinya. Sampai berani menyebar dergama yang tidak-tidak, batin gadis berumur tujuh belas itu.

Teh panas mengepul berada digenggamannya. Ia suka minum teh. Apalagi segelas teh pahit dengan roti rasa cokelat seharga seribu perak yang ia beli di warung dekat pos ronda.

"Mau?"

Itu Galang. Sahabat Murai sejak mereka duduk di bangku TK. Ia adalah seorang anak laki-laki bodoh yang tidak tamat SMP. Anak itu menawarkan keripik singkong buatannya kepada Murai.

Murai tersenyum sambil menggeleng. "Enggak, makasih." Jujur, rasa keripik singkong itu seperti nasi putih diberi garam banyak-banyak. Asin luar biasa.

"Orang-orang itu terlalu membesar-besarkan, ya kan?" Galang memandangi kerumunan ibu-ibu yang sibuk bergunjing. "Masa kamu dikira pacaran sama aku?"

Mata Murai membesar. "Iya? Kamu dengar mereka?"

"Aku kan pandai menguping," Galang tertawa. "Mereka bilang kamu benar-benar gadis yang aneh karena pacaran sama aku."

Murai menundukkan kepalanya. Rasanya ia tak enak dengan lelaki di sebelahnya ini.

"Memangnya aku seburuk itu ya?" Tanya Galang setengah berbisik.

"Tidak tuh. Kamu baik."

"Aku pengin sekolah, Rai."

Murai menghadapkan wajahnya pada Galang. Ditatapnya anak laki-laki itu dengan sedih. "Aku juga. Tapi harga satu buah buku pelajaran saja lebih mahal daripada sekilo beras."

"Kamu masih enak, Rai. Kamu lulus SMA. Sedang aku? SMP saja gak lulus."

Murai menyesap tehnya kemudian berujar, "Mimpi itu bukan cuma sebagai penghias tidur loh, Lang."

"Mimpi itu banyak artinya, ya kan?"

"Tuh kamu tahu!" Murai tertawa. Memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih. "Kamu harus punya mimpi."

"Aku punya. Banyak sekali."

"Sudah kamu bentengi mimpi-mimpi itu?"

"Maksud kamu?"

Murai tersenyum. Gadis itu memungut sebuah patahan ranting dari bawah pohon. Kemudian, anak dara itu pun menggambar sebuah lingkaran besar di atas tanah. "Kamu lihat lingkaran ini?", tanyanya.

"Iya."

"Kamu mengerti maksudku tidak?"

Galang sibuk berpikir. Sebuah lingkaran di atas tanah basah? Apakah Murai mengajakku bermain gundu?
"Kau pengin bermain gundu?"

Seketika Murai tergelak. "Bukan itu maksudku, Galang Bahara! Inilah baluwarti yang kumaksud tadi. Kau taruh mimpimu di dalam sini.", jelas Murai sambil membuat titik-titik di dalam lingkaran yang ia buat.

"Kenapa?"

"Karena mimpi itu seperti kuning telur. Kuning telur dilindungi cangkang agar tidak hancur. Telur dierami oleh induk ayam supaya menjadi anak ayam." Murai menatap Galang  was was. Khawatir sahabatnya ini tidak mengerti apa yang dia ucapkan.

"Lalu?" Setelah hening sepersekian detik, Galang pun berkicau.

"Nah, mimpi kalau tidak dilindungi akan bersepaian. Datang dan pergi. Sedangkan mimpi perlu dierami agar suatu saat bisa menjadi nyata. Kamu paham?"

"Um.. Kalau begitu aku harus punya baluwarti dong?"

"Tidak perlu baluwarti sungguhan. Buat saja sebuah di pikiran dan hati kamu supaya mimpi-mimpi itu tetap ada di sana."

"Aku bisa bermimpi apa saja?" Galang menanya lagi.

"Bisa dong. Semau kamu saja."

"Kalau begitu, aku bisa bermimpi buat pacaran sama kamu?"

Murai tercengang lalu tersenyum. "Bisa."

"Okedeh!" Galang tersenyum lebar. "Kalau begitu aku mau bikin lingkaran di kepala dan hati aku buat menaruh mimpi. Oh iya! Di tembok kamar juga bisa kubuat lingkaran!"

Keduanya tertawa. Tidak tahu kalau ini adalah peluang terakhir mereka.

Untuk bertemu.

•••

Subuhnya, Murai terbangun karena sebuah ikhbar yang diteriakkan oleh seseorang.

"Ada yang mati! Ada yang mati!"

Baik Murai dan kedua orang tuanya sama-sama bergegas keluar rumah. Siapa yang meninggal pagi-pagi begini?

"Siapa, Cang??" Tanya Bapak pada Acang, petugas ronda malam itu.

"Galang Bahara! Anak Pak Ahmad Bahari!" Jawab Acang dengan napas ngos-ngosan sehabis berteriak di seluruh kampung.

Murai tertegun. Galang Bahara? Sahabatnya? Anak laki-laki yang bermimpi dapat memacarinya suatu hari nanti? "Ga.. Galang??", tanya Murai dengan suara sepelan angin.

"Iya, Dek Murai. Tadi saya lihat dia mati di pinggir sa-"

"Jangan bilang dia mati! Kau sungguh tidak punya hati, Acang!" Murai berteriak tepat di depan wajah pemuda itu.

"-wah.."

"Sudahlah, Rai." Bapak mengusap-usap punggung Murai.

Gadis berumur tujuh belas itu berlari memasuki kamarnya. Butir air mata sudah tak dapat ia bendung. Ia menangis sepanjang hari. Ditemani dengan segelas teh pahit kesukaannya. Teh itu semakin pahit rasanya mengingat seorang Galang Bahara sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa terlebih dahulu.

Aku bersumpah, Galang. Aku juga bermimpi supaya bisa menjadi pacar kamu.

-TAMAT-

* dergama : fitnah
bergunjing : bergosip
anak dara : gadis, anak perempuan
baluwarti : benteng
bersepaian : berhamburan
ikhbar : penyampaian berita, pengabaran

•••

a.n.

Selamat malam! Marhaban Ya Ramadhan! Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan :)

Udah. Gitu aja. Aku cuman pengin ngucapin itu. Hehehe.

Semoga suka ya sama ceritaku yang super ... (isi sendiri) ini. Maaf juga kalau ada kesalahan penggunaan bahasa dan penulisan tanda baca. Keep read, vote, and comment yaa!!

Salam anak bangsa,
Nasywa.

CandramawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang