Chapter 1

163 16 5
                                    

Siang ini, matahari begitu terik, bahkan sampai terasa menyengat di kulit. Beberapa orang yang berjalan di sekitar trotoar terpaksa mengenakan payung, hanya karena untuk melindungi diri dari sinar matahari. Ada juga beberapa orang yang sengaja berhenti sejenak di halte, sekedar beristirahat atau sedang menunggu angkutan umum. Dan ada juga beberapa orang yang berhenti di warung-warung kecil, membeli air minum untuk membasahi tenggorokan yang sudah mengering.

Di salah satu gang dekat dengan sekolah SMA Garuda, terlihat ada beberapa murid yang berjalan dengan santai sambil bersanda gurau. Banyak pepohonan rindang di samping kanan dan kiri jalan, membuat suasana menjadi sejuk. Tidak banyak yang memilih untuk berjalan, selain melelahkan, mereka juga tidak mau kepanasan. Selain itu, gang ini jarang di lewati oleh kendaraan karena jauh dari jalan raya. Tapi itu tidak menjadi penghalang untuk seorang gadis yang berjalan dengan santai, ia mengenakan hoodie baseball warna merah kesayangannya. Ia juga merupakan salah satu murid SMA Garuda.

Alvinza Alvar Favian, nama gadis itu. Ia berjalan dengan sangat santai, tidak perduli dengan beberapa murid SMA Garuda yang berjalan mendahului dirinya. Ia terus menatap lurus ke depan, se-sekali ia mengamati setiap pohon yang tertanam rapih di sepanjang jalan. Tidak ada perasaan takut atau apapun yang menghampirinya, meskipun gang ini terlihat sepi.

"Andaikan Jakarta seperti ini. Adem." Gumamnya dengan pelan, sambil terus berjalan menikmati ke sejukan.

Tiba-tiba langkahnya terhenti, Vinza merasakan ada seseorang yang mengikutinya. Sejak awal Vinza sudah merasakan kalau ia sedang diikuti, tapi ia tidak menggubris dan terus berjalan tanpa ada rasa curiga sedikit pun. Tapi semakin lama, ia merasa orang itu semakin dekat. Vinza berhenti, lalu berbalik dan menatap orang yang memasang wajah datar itu. Dia seorang laki-laki, dan Ternyata Dia salah satu siswa SMA Garuda. Vinza mengangkat bahunya lalu berbalik dan terus berjalan tanpa memperdulikan laki-laki tersebut. Dia tidak mengenalinya, dan ia tidak mau tahu tentang itu.

"Heh!" panggilan laki-laki itu membuat langkah Vinza terhenti kembali. Ia membalikkan tubuhnya dan menaikan satu alisnya, bingung. Ia tidak mengenal cowok itu. Oh tunggu, ada badge nama di seragamnya. Devan Azhio Zhorif.

Vinza menoleh dengan tatapan bingung.

Laki-laki bernama Devan itu berjalan mendekati Vinza dengan wajah datar.

"Diam." Vinza menatap Devan kaget. Ia tidak mengerti apa yang dilakukan Devan, tiba-tiba datang lalu mencekal lengannya.

"Apaan sih!" Vinza melepaskan cekalan Devan dengan kasar.

   Mereka saling melempar tatapan tidak suka, mata Vinza yang tajam bertemu dengan mata hazel yang teduh milik Devan.

Matanya. Kaya pernah liat, tapi dimana. Guman Vinza dalam hati. Ia masih terus menatap mata Devan, mengingat-ingat sebelumnya, apa dia pernah bertemu dengan Devan atau tidak.

Yailah. Yang punya mata hazel kaya gitu kan bukan cuman nih orang. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, meyakini dirinya kalau sebelumnya ia memang tidak pernah bertemu dengan Devan.

Devan menaikkan satu alisnya. Aneh melihat Vinza yang menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri.

Aneh banget. Batin Devan berucap.

Devan menatap Vinza datar, ia berjalan mendekati Vinza.

Vinza yang melihat Devan berjalan mendekatinya, seketika mundur dan sialnya, punggungnya sudah menyentuh tembok gang.

Sial. Umpat Vinza dalam hati.

Jarak antara keduanya kini hanya beberapa senti. Mereka masih saling menatap tajam. Devan mencondongkan kepalanya, membuat Vinza menjadi berpikiran yang tidak-tidak. Tapi ia segera menghilangkan pikirannya itu.

"Mau ngapain lo?!" Tanyanya sengit, masih dengan menatap tajam mata Devan. Sebenarnya Vinza gugup, jantungnya sudah berdetak di atas normal. Dengan cepat ia menutupi kegugupannya itu. Tangannya meremas-remas roknya. Ia seperti maling yang tersudutkan.

Devan menyeringai kecil.

"Seharusnya, lo bersyukur, karena gue yang enggak sengaja lewat sini dan nemuin lo lagi jalan. Kalau tidak," Devan memberi jeda pada ucapannya dan melirikkan matanya ke arah kanan, memberi isyarat kalau ada preman-preman yang sedang menatap mereka dengan tatapan sangar.

"Lo bisa habis sama mereka,"

Vinza tersenyum miring.

"Apa pedulinya lo sama gue ? Gue kenal lo aja kagak,"

"Udah ditolongin, bukannya bilang terima kasih kek atau apa kek,"

"Gue enggak minta lo untuk nolongin gue!"

"Ya ya ya terserah lo." Balas Devan sekenanya lalu ia menjauhkan badannya.

Vinza melirik preman-preman itu yang berbalik arah meninggalkan mereka, dan ia kembali menatap Devan malas.

"Gue males berurusan sama lo. Mending lo pulang sana," Usir Vinza. Ia kembali melanjutkan jalannya. Meninggalkan Devan yang menatapnya dengan tajam.

"Enggak perlu disuruh juga gue mau pulang."

Dengan santai, Devan berjalan mendahului Vinza yang sedang menatapnya dengan kesal. Ia mendumel sebentar dan kemudian meneruskan langkahnya yang sempat terhenti, membuntuti Devan yang sudah jauh beberapa langkah di depan Vinza sampai akhirnya punggung Devan tidak kelihatan ditelan tikungan.

Tanpa mereka sadari, bahwa awal pertemuan mereka adalah awal dari segalanya.

Tbc.

Haaiiiii hahahaa

abis di revisi dikit-dikit ala kadarnya tapi tetep bikin eneq :')))) biarin lah ya heheheheheheheheeh

The TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang