Chapter 2

98 14 3
                                    

   Brakk

   Suara dentuman keras pintu yang dibanting oleh sang penghuni rumah, bergema di setiap sudut ruangan. Rumah megah yang memiliki design interior minimalis dan diberikan sedikit sentuhan tradisional menambah kesan elegan, ditambah dengan perpaduan warna cat hitam, putih dan abu-abu. Tapi, rumah ini terlihat sangat sepi dan kosong, bagikan rumah yang sudah lama ditingal oleh para sang penghuni.

   Vinza menghempaskan badannya di atas sofa panjang yang tersedia di ruang tamu. Ia menghela nafas pelan, merasa kalau hari ini cukup melelahkan. Padahal aktivitasnya seperti biasa. Sekolah, belajar, ngerjain tugas, kekantin, makan, kekelas, belajar, ngerjain tugas, dan pulang. Ia menutup matanya, berniat untuk beristirahat sejenak.

   "Mba Alv," Panggil Bi Ina. Vinza pun langsung membuka matanya. Menatap Bi Ina dengan tatapan bertanya.

   "Ini ada telfon dari Bapak." Bi Ina menyodorkan telfon rumah.

   Dengan sangat berat hati, Vinza mengambil alih telfon rumah yang berada di tangan Bi Ina dan mendekatkan ketelinganya.

  "Ya." Ucapnya pelan. Sebenarnya, ia malas berbicara dengan sang Ayah.

   "Ah. Halo sayang. Kamu apa kabar?" Tanya sang Ayah di sebrang sana dengan nada senang.

   "Baik."

   "Kamu enggak nanya gimana kabar Ayah sama Mamah disini?"

   Vinza memutar bola matanya. Sungguh, kalau ia tidak mengingat yang menelfon ini adalah Ayahnya, mungkin ia sudah mematikan telfonnya sedari tadi, malas-malas begini Vinza masih memiliki attitude

   "Gimana kabarnya?"

   "Kami juga baik sayang. Kami kangen banget sama kamu."

   Vinza melengos, ia tau yang diucapkan itu hanyalah sebuah kebohongan. Tidak ada nada kebenaran disana. Baiklah, kalian boleh bilang kalau Vinza ini anak yang tidak tau diri karena selalu berfikiran buruk kepada orang tuanya.

   "Kapan pulang?"

   "Mungkin hari senin. Kamu mau oleh-oleh apa?"

   Sekalian aja enggak usah pulang, selamanya. Batin Vinza.

   "Enggak. Alv enggak butuh oleh-oleh. Yang Alv butuhkan itu Ayah," Vinza mengambil satu tarikan nafas, lalu membuangnya dengan kasar.

   "Tapi Alv enggak butuh Mamah." Lanjutnya dengan nada datar namun menyimpan kemarahan.

   Vinza mendengar sang Ayah menghembuskan nafasnya kasar.

   "Alv, berapa kali Ayah harus ngomong ini sama kamu, tolong terima Tante Rina. Dia juga sekarang adalah orang tuamu." Ucap sang Ayah dengan nada sedikit memohon.

   "Kalau Alv enggak mau gimana?"

   "Vinza!" Suara Ayah sedikit membentak.

   Ia tersenyum miring melihat respon sang Ayah yang lagi-lagi membentaknya.

   Lagi dan lagi ya, Yah. Lirihnya dalam hati.

   "Aku hanya punya Bunda, Yah. Bukan Mama."

   "Sejak kapan kamu berani ngomong kasar kayak gini?!"

   "Sejak Ayah menikahi perempuan itu." Selalu ada perdebatan antara Vinza dan Ayahnya jika mereka sudah membahas tentang Mama.

   "Jaga ucapanmu, Vinza!" Suara sang Ayah mulai meninggi. Vinza bisa mendengar samar-samar suara Mama yang menenangkan Ayah.

   Vinza menatap langit-langit rumah, mengerjapkan matanya beberapa kali, menghilangkan air matanya yang mulai menggenang.

   "Kalau Ayah masih inget sama Alv, pulang. Dan kalau enggak, enggak usah pulang sekalian." suaranya mulai berubah menjadi serak dan dengan secara sepihak, ia langsung mematikan telfonnya, menaruhnya di atas meja kaca yang tersedia di ruang tamu.

   Air mata yang sedari tadi sudah menyesaki dirinya mendadak pecah. Vinza memeluk erat bantal sofa, menenggelamkan wajahnya. Ia menangis sejadi-sajadinya tanpa suara, membiarkan air matanya terus mengalir seiring rasa sesaknya mulai menghilang. Kalau boleh Vinza jujur, ia kangen sikap sang Ayah yang dulu, yang penyayang dan tidak pemarah. Tapi sekarang semua sudah berbeda, hanya meninggalkan kenangan-kenangan manis yang masih tersimpan rapih dalam ingatannya.

   Vinza sangat tidak suka dengan kehadiran Tante Rina --yang sekarang berstatus sebagai Mamanya, oh bahkan mungkin sekarang sudah berubah menjadi benci. Ia mempunyai suatu alasan mengapa dirinya sangat membenci Mamanya itu. Tidak ada seseorang yang membenci orang lain tanpa adanya suatu alasan yang mereka miliki.

   "Alv kangen, Nda." Gumamnya sangat pelan disela-sela isakannya.

   Vinza bangkit dari sofa, dan berjalan menuju kamarnya. Ia butuh istirahat, otaknya sudah capek bekerja seharian, dan ia juga merasa lelah karena terus menangis.

   Vinza membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Memejamkan matanya dan mulai terlelap. Menghampiri alam mimpi yang indah.

Tbc.

Haaiii hehehehe 

balik lagi ma w yang gaje hehehehehehe

abis di revisi lagi nih tapi ttp ajaaaa ye eneq eneq gt :"))))))))

maafkan aku masih baru dan harus banyak belajarr *semangaat* terima kasih yang udah baca sampe chapter 2 hehehehehehehehe makasih lohhhh eheheeheheeheh

The TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang