Vinza menuruni tangga rumahnya dengan santai sambil memakai jaket berwarna merahnya. Hari minggu ini ia manfaatkan untuk berolahraga, sekedar berlari-lari kecil mengelilingi kompleks. Ia mengambil sepatu khusus lari miliknya dari rak sepatu yang berada di bawah tangga. Ia berjalan, menjinjing sepatunya dan duduk di sofa yang tersedia di ruang keluarga.
Vinza mulai memakai sepatunya, ia mendengar suara langkah kaki. Ia tahu siapa yang melangkah mendekati dirinya, "Pagi, Bang," Sapa Vinza tanpa mengalihkan pandangan.
"Hm," Sang Abang hanya berdehem dan mengambil posisi duduk di sebelah Vinza sambil memperhatikan penampilan Vinza dari atas sampai bawah. Ia mengangkat satu alisnya, "Mau kemana?" Tanyanya.
"Lari,"
"Sok-sokan lari, kaya ada yang mau ngejar aja,"
"Apa deh Bang," Jawab Vinza malas
"Jangan suka lari, kalau niatnya hanya ingin dicari-cari,"
"Bang...."
"Gue tau kok dek, lari dari kenyataan emang paling sakit,"
"Bang Varrel...."
"Apa lagi dijadiin pelarian," Varrel memang dadanya sambil memasang muka sedih. "Di sini tuh yang paling kerasa sakitnya,"
Vinza mendengus malas, "Masih pagi, Bang. Jangan galau dulu deh,"
Varrel terkekeh pelan, ia mengambil remote televisi yang berada di atas meja kaca lalu menekan tombol power untuk menyalakan televisi, "Udah jam setengah tujuh, masih mau lari?" Ia mencari-cari channel stasiun televisi favorite nya, "Jangan capek-capek lari untuk ngejar bintang yang susah dijangkau, kalo ada bulan yang lebih dekat, kenapa nyari yang jauh?"
"Apa sih, Bang." Vinza mendengus. Sedangkan Varrel sudah tertawa terbahak-bahak, ia paling suka menggodai adik satu-satunya itu.
"Udah jam setengah tujuh, masih mau lari?" Varrel mengulang pertanyaannya.
Vinza menegakkan badannya, ia sudah selesai mengikat tali sepatu. Ia berdiri dan membenarkan kunciran rambutnya, "Iya lah. Dari pada lo, jam segini udah nonton kartun,"
"Ye suka-suka gue lah,"
"Yaudah berarti suka-suka gue juga dong, mau lari jam berapa juga."
Varrel hanya diam tidak menanggapi balasan Vinza, Ia terfokus pada layar televisi yang menayangkan film kartun kesukaannya. Vinza berjalan mendekati pintu rumah sambil memasang headseat yang sudah tersambung ke handphone miliknya, "Berangkat, Bang." Pamit Vinza dan membuka pintu rumahnya.
"Sama siapa lo?" Teriak sang Abang tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi.
Vinza menghentikan langkahnya dan menoleh, "Sendiri,"
"Sendiri mulu, kapan berduanya?"
Vinza menutup pintu dengan keras, tidak menanggapi ucapan Abang nya yang semakin tidak jelas.
"Hati-hati lo." Teriakan Varrel yang begitu keras dari dalam rumahnya bisa Vinza dengar.
"Pagi, Mba." Sapa Pak Dani, penjaga rumah Vinza beliau yang juga suami dari Bi Ina.
Vinza tersenyum tipis. "Iya Pak pagi." Balasnya dengan sopan. Ia melewati pintu gerbang yang sudah Pak Dani bukakan untuknya.
Vinza mulai berlari-lari kecil sambil sesekali bersenandung pelan, mengikuti bait demi bait lagu yang ia dengar. Rambutnya yang ia kuncir kuda bergerak kesana-kemari, mengikuti langkah larinya. Mengitari kompleks perumahan yang sepi, sampai akhirnya beristirahat di taman kompleks yang cukup ramai.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Time
Teen FictionApa yang akan kamu lakukan jika kamu bisa menghentikan waktu? Apa yang akan kamu lakukan jika kamu bisa memutar balik waktu?