"Maaf ya. Gue nggak sengaja."
Aku terdiam sejenak. Seorang lelaki berperawakan tinggi, berkulit putih dan bermata sipit sedang menatap datar ke arahku.
Aku mencoba tersenyum ramah tapi rasanya sudut bibirnya tertarik. Dia merapikan tas yang menggantung pada bahu kirinya yang tadi sedikit melorot dan berlalu begitu saja.
Aku terperangah dan langsung melempar pandang dengan Nola. Dia menggedikkan bahunya. Aku memicingkan mataku. "Salah lo sih!"
"Kok gue?"
Nola! Pagi-pagi dia sudah membuatku naik darah. Sudah salah malah merasa tidak bermasalah. Aku tidak menjawab pertanyaannya dan langsung bergegas menuju ke kelas.
***
Aku berjalan santai menulusuri koridor sekolah, berbelok sedikit pasti aku sudah sampai di tempat loker anak kelas 2. Seperti biasa secarik kertas sudah ku kantongi tapi isinya kali ini berbeda. Biasanya aku akan menuliskan tempat duduk yang akan aku tempati untuk menunggunya pada saat jam istirahat agar kami dapat makan bersama. Tapi hari ini aku mendapat giliran untuk membersihkan lab kimia ketika istirahat.
Terdengar kuno di zaman yang serba canggih ini? Ya memang aku tau itu. Tapi justru cara kuno ternyata lebih awet dan romantis. Lagi pula untuk mendatangi kelasnya setiap hari aku angkat tangan, jarak kelasku dan kelasnya lumayan jauh. Cukuplah hal itu ku lakukan pada masa PDKT dulu. Terlalu lelah untuk dilanjutkan. Untung saja Dela tidak pernah menanyakan hal itu.
Aku menekan angka-angka pada pintu loker. Dela memberitahuku kode lokernya jadi sewaktu-waktu jika ada pesan yang tidak sempat aku sampaikan padanya secara langsung jadi bisa ku tempelkan pesanku di balik pintu lokernya di bagian dalam.
Sebuah tas berwarna coklat muda sudah menguhuni loker itu, ku selipkan saja kertas itu di bawah tas. Dela pasti sudah menuju ke kelasnya. Tumben dia datang lebih awal atau mungkin semalaman dia tidak bisa tidur karna perlakuanku yang romantis.
Semalam kisahku dan Dela menjadi trending topik di sosmed anak sekolahan. Bukan hanya di sekolahku tapi juga tersebar di beberapa sekolah karna akses kenalanku dan Dela yang cukup luas.
Aku menutup loker Dela setelah mengamati isi lokernya yang sedikit ada yang mengganjal. Oh ternyata tempat plastik berbentuk segi empat kecil tidak berada di sana. Dela selalu membawakanku sarapan entah itu roti bakar,sandwich,telor atau nasi goreng. Dela tidak terbiasa sarapan sedangkan ibunya selalu memaksa untuk membawa bekal ke sekolah dan inilah kenyataannya, seorang Iqbaal yang menghabisinya setiap hari.
"Kamu bikin aku kecewa!" Hentakan keras pada pintu loker di sampingku mampu membuat aku tersentak. Bagaimana tidak aku yang tadinya asik melamunkan makanan dan keromantisanku dengan Dela justru langsung mendapat serangan sepagi ini pada gendang telingaku. Gila!
Aku mengernyitkan alisku ketika melihat gadis berambut pirang sedang memasang muka kesalnya ke arahku.
"Kamu ngapain peluk-pelukan sama Dela?" Gadis itu menunjukkan layar ponselnya tepat di depanku. Aku memundurkan kepalaku sedikit agar dapat melihat dengan jelas foti yang ada di hp tersebut.
Aku menggelengkan kepalaku. Gadis ini memang sudah benar-benar gila. Jelas-jelas Dela adalah pacarku. Sedangkan dia? Entahlah untuk ku anggap sebagai teman juga tidak. Dia itu parasit yang setiap hari selalu menggangguku.
"Aku kecewa Baal. Kenapa sih kamu nggak pernah ngertiin aku?" Dia menatapku dengan mata yang berair. Ya Tuhan apa yang sudah ku lakukan sehingga dia begitu berharap aku akan membalas cintanya.
"Ren. Lo kenapa sih? Lo tau kan gue sama Dela itu pacaran. Kenapa lo mau nyiksa diri lo sendiri? Cari cowok lain aja." Lantas aku meninggalkannya. Iba tentu ada. Tapi aku tidak bisa terus-terusan berbuat baik padanya, aku takut kalau dia sampai nekad untuk mencelakai Dela.
Ah sudahlah pikiran itu segera ku tepis jauh. Suara gadis itu juga sudah tidak terdengar, mungkin dia sedang mencerna kata-kataku. Terkadang aku kasian pada makhluk yang tercipta sebagai perempuan, dibaikin dikit langsung Baper. Hahai
***
"Gue bantu?"
Aku menoleh. Anak pindahan yang baru masuk minggu lalu sedang berdiri di sampingku dengan senyuman khasnya. Baju putih khas untuk penelitian masih dia kenakan. Ku kira semua teman kelasku sudah keluar kelas yang menyisakan aku seorang diri karna partnerku Ryan tidak masuk hari ini.
"Nggak usah. Gue bisa sendiri kok." Aku tersenyum tipis padanya lalu kembali meletakkan gelas-gelas ukur yang berserakan ke dalam ember untuk ku cuci.
Aku mendengar dentingan kaca yang saling bergesekan di meja sebelah. Ternyata gadis itu justru membantuku mengumpulkan alat-alat di bagian lain.
"Udah nggak papa Ngi. Gue bisa sendiri. Lo balik aja." Tegurku lalu membawa semua alat-alat itu ke tempat pencucian yang berada di pojokan ruangan.
Dia tidak menjawab. Ku rasa dia terus melanjutkan pekerjaannya. Biarkan sajalah. Setidaknya pekerjaan ku akan lebih cepat selesai. Perlahan aku memutar keran air dan membiarkan sebuah wadah terisi air olehnya.
Prak!
Aku menoleh kaget. Anggi menatap kaget ke arah pecahan tabung yang berserakan di lantai. Ya Tuhan baru saja aku mengatakan pekerjaanku akan cepat selesai tapi sepertinya akan lama.
Anggi yang menyadari tatapanku langsung menunduk memunguti pecahan itu.
"Awww" Dia meringis. Jari telunjuknya mengeluarkan darah. Sehingga lantai bukan hanya dihiasi dengan pecahan kaca tapi juga tetesan darah segar.
Aku segera bangkit untuk melihat keadaan Anggi. Jangan sampai nanti orang berfikir aku malah mencelakai seorang perempuan.
"Gue kan udah bilang tadi, nggak usah bantuin. Jadinya gini kan." Aku memegang kedua tangannya secara refleks lalu menuntun untuk berdiri dari posisi jongkoknya.
Aku menyuruhnya untuk duduk di kursi lantas aku mengambil sebuah wadah plastik untuk diisi air, sebuah handuk kecil yang terjemur di samping pintu masuk lab dan kotak kesehatan yang selalu setia bertengger di lemari kaca.
"Lo sih nggak hati-hati. Lo kan anak baru, nggak tau seluk beluk di lab ini." Saking paniknya aku tidak tau apakah ucapanku sudah sinkron?
Aku mencelupkan jari telunjuknya ke wadah yang berisi air. Seketika darahnya menyebar dan menyatu dengan air. Lalu ku lap dengan handuk kecil.
"Maaf Baal." Hanya itu yang dia ucapkan. Ternyata dia sudah mengetahui namaku.
Aku mengoleskan betadine pada lukanya. Lalu melapisi dengan kapas dan melilitinya dengan plaster.
Saat aku melakukan itu semua sebenarnya aku tidak benar-benar fokus. Kau tau dadaku cukup berdebar ketika menyentuh tangan Anggi. Sebagai lelaki normal tentu saja aku tertarik padanya, matanya bulat, pipinya yang sedikit berisi, bibirnya merah merekah, rambutnya yang halus dan hidungnya yang kecil dan mancung. Dia nyaris sempurna bahkan mungkin bisa ku katakan 10 kali lebih cantik dari Dela.
Sedari tadi saat aku merawat lukanya dia terus memandangiku. Bisa ku rasakan dari hembusan nafasnya yang sengat dekat pada wajahku. Entahlah ini sebuah aksi modusnya untuk mendekatiku atau memang dia ini gadis yang baik pada semua orang. Aku belum tau sifatnya kan.
"Makasih ya Baal."
"Ya sama-sama. Mending lo balik aja ke kelas. Nanti gue yang beresin."
"Nggak. Gue nggak mau. Gue mau nungguin lo aja di sini."
Perempuan ini keras kepala juga, sudah salah justru sama sekali tidak tersirat keraguan di wajahnya.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Alzheimer
Novela JuvenilSaat aku benar-benar kehilangan dia duniaku terasa suram. Lebih menyakitkan rasanya ketika kau harus merelakannya pergi dengan sebuah alasan. Dia meninggalkanku karna dia lupa. Lupa siapa aku. Lupa kenangan kami. Otaknya tersapu bersih dari memori-m...